Ihwal Sepotong Kain Besar

 

Photo by Andrew Small on Unsplash

Sebuah pesan masuk ke dalam gadget. Seorang teman hendak bertemu. Saya tanya, ada apa? Jawabnya, "Ingin mendengarkan pengalaman spiritualmu." Saya hanya tertawa sambil mengatakan, "Kamu tanya, saya jawab."

Ini teman yang sama yang pada 2005 juga mengajak saya bertemu untuk "mendapatkan pencerahan".  Saat itu saya baru saja berjilbab. Karena dia kontak saya untuk maksud yang kurang lebih sama, maka saya jadi teringat semuanya lagi. Saya teringat tulisan "Ihwal Sepotong Kain 2" yang akhirnya saya tulis meski terlambat. Tapi bukan itu yang menempel erat di benak saya beberapa hari terakhir ini. Saya teringat akan orang-orang baik yang bahkan tidak tahu bahwa mereka telah mengambil bagian dalam menyalurkan hidayah Allah yang disebarkanNya di muka bumi.

Mereka adalah para muslimah berjilbab yang silih berganti datang dalam hidup saya, meninggalkan jejaknya dalam ingatan saya, menjatuhkan mutiaranya untuk saya punguti.

"Sekarang saya melihatnya kembali, ada banyak muslimah berjilbab yang berulangkali menampakkan wajah mereka sepanjang jalan yang saya lalui. Teman dekat kakak nomor empat, teman sekelas waktu SMA, teman paduan suara, teman-teman milis. Wajah-wajah yang menampakkan diri sepanjang jalan, seolah menjadi sebuah doa panjang yang terjawab. Hanya Allah yang sanggup menghitung mutiara kebijakan yang mereka jatuhkan sepanjang jalan, dan membalasnya dengan batu mulia yang kilaunya ratusan kali lebih gemerlap."  

(http://pennylaneonline.blogspot.com/2006/10/ihwal-sepotong-kain-2.html)

Lalu sekarang.

Jilbab saya panjang sekarang. Teman saya ini, termasuk yang kaget waktu mendapati ujung kerudung saya kini jauh mencapai pinggul. Ah, apa yang bisa saya ceritakan kepadanya? Saya tidak punya cerita heroik seperti di buku-buku inspirasi itu.

Seperti halnya ketika pertama kali berhijab, saya sudah paham adanya kewajiban ini sejak di bangku SMP. Namun belum mampu melakukannya dan iri pada mereka yang bisa melakukannya. Kali ini pun sama. Ketika pertama kali berhijab, seringkali saya menyebut hijab saya sebagai "jilbab kafir". Teman saya sempat ada yang protes dengan kata-kata itu, namun saya teguh. Saya bilang, ini jilbab kafir. Karena saya paham, bukan seperti itulah jilbab yang diperintahkan Allah melalui Al Qur'an dan dicontohkan oleh para istri Rasulullah SAW dan para shahabiyah. Saya kerap iri melihat mereka yang sanggup mengulur jilbabnya hingga menutupi seluruh badan. Bahkan sanggup berniqob. 

Diam-diam saya iri.
Diam-diam saya mengidolakan mereka.
Diam-diam saya ingin menjadi seperti mereka.

Suatu malam ketika sedang i'tikaf di AQL, bangun untuk qiyamulail, saya mengenakan hijab dan membiarkannya terulur panjang. Di kamar mandi, tak sengaja terlihat bayangan saya di cermin. Terjadi sesuatu yang tidak biasa. Sebuah kedamaian baru yang luar biasa menyungkupi diri. Saya merasakan kemuliaan dalam kerudung kuno seperti ini. Seperti inilah yang diinginkan Allah! Dzat yang menciptakan saya, menyuruh saya sholat dan melimpahi saya dengan rejeki setiap hari. Saya dekati cermin itu, beberapa detik memandang wajah tanpa bedak dan lipstik, kerudung panjang kelabu sederhana, sungguh kuno dan tidak bergaya, namun serasa dicemburui seribu bidadari!

Di suatu siang yang terik, dalam perjalanan menggunakan Trans Jakarta. Di sebelah saya, seorang murid SMA berhijab, sedang membaca sebuah buku. Meliriklah mata saya ke buku yang sedang dibaca akhwat ini, berharap ada sesuatu yang bisa ikut saya baca. Lalu terbacalah ini:

"Jilbab bukan fashion. Jilbab bukanlah pelarian para fashionista yang ingin dibilang islami."

Jantung saya loncat satu degup. Cepat saya cari nama penulisnya. Felix Siauw dan Benefiko.

Sampai di rumah, tanpa ganti baju saya langsung buka laptop dan memesan buku itu. Beberapa hari kemudian, pesanan buku datang, langsung saya lahap habis dari cover depan hingga cover belakang. Esok harinya, jilbab saya sudah panjang menutup hingga pinggul, tebal tidak lagi terawang, sederhana tanpa hiasan selain bros kecil yang menahan tautan.

Pada dua momen itu, ketika keinginan manusia berpadu dengan keinginan Allah, benak saya tidak lepas dari mereka. Teman-teman yang senantiasa singgah dalam ingatan mesra: para muslimah berjilbab panjang yang silih berganti datang dalam hari-hari saya. 

Mereka, yang diam-diam saya iri.
Mereka, yang diam-diam saya idolakan.
Mereka, yang diam-diam saya jadikan panutan. 

Mereka seolah saling mengambil tongkat estafet untuk menasihati saya tanpa kata-kata, menguatkan saya tanpa bicara. 

Tulisan ini untukmu, akhawati fillah. 

Pernyataan terimakasih dan hormatku dalam doa.
Ungkapan cintaku untukmu karena Allah.

Melalui jilbab panjangmu, engkau gaungkan syiar, meski tak terdengar dalam ujar.
Melalui jilbab panjangmu, engkau salurkan kekuatan.
Seperti halnya lambaian kerudungmu menasihatiku tanpa henti,
aku pun berharap, entah bagaimana caranya, seseorang akan menangkap gemerisik kerudung panjangku
dan menyambut hidayah Allah dalam hidupnya.

Semoga Allah memuliakanmu di dunia dan di akhirat,
menghapus semua kesalahanmu beserta keluarga dan keturunanmu, menerima sempurna semua amalmu,
mengumpulkan kita semua kelak bersama para nabi, asy-syuhada, ash-sholihin, ash-shodiqin, as-sobirin.

Aamin, Allahumma aamiin.

Uhibbukunna fillah. 


Pejaten, 29 Syawal 1435 H

Ketika engkau di surga, tanyakan aku, akhawati fillah, seorang teman yang menyimpanmu dalam doa-doa malam.

Untuk saudari-saudariku seiman, yang bahkan tidak pernah tahu betapa besar arti diri mereka dalam hidupku:

Unang Azzah
Sylvie Arizkiany
Rifda Yanti
Rina Sofiany
Widi Tagor
Ira Prajurit Kecil


Related stories:




Comments

Popular Posts