Hajj Series part 6: Masa Penantian, Masa Pembersihan Diri

Untitled
Masjid Abdullah ibn Abbas r.a., Tha'if


Pentingnya periode menunggu ini saya sadari belakangan. Tepatnya 1 pekan sebelum saya berangkat masuk asrama haji. There I was, sitting on my sister's dining table, working on proofreading for NCC's next recipe book. The thought suddenly struck my head.

Enam tahun lalu, saya mendaftar haji dalam keadaan pakai jeans ketat dan jilbab lilit-lilit. Hari ini, saya akan berangkat haji dalam keadaan bergamis gelap longgar dan berniqab.

Enam Tahun Diperbaiki Allah

Dalam masa enam tahun ini, tanpa terencana, saya mulai mendatangi majelis ilmu. Lalu bertekun di dalamnya. Saya mendapati diri sangat bersemangat mencari ilmu agama dan sangat bahagia di dalamnya. Terkadang pergi sendirian, tidak peduli tidak punya teman. Saya datang ke tadabbur selasa pagi AQL di masjid Pondok Indah dalam keadaan saya seperti itu: jeans ketat, jilbab lilit-lilit. Ketika saya ingat lagi sekarang, betapa saya baru menyadari kebaikan hati para pencari ilmu di majelis itu. Mereka tidak memandang saya aneh, tidak menghakimi saya. Mereka tersenyum ramah memberi saya tempat untuk duduk bersama-sama. 

Saya ketagihan mencari ilmu di AQL! Program-programnya sangat lengkap dan terstruktur rapi, ustadz-ustadznya didatangkan dari berbagai golongan pemikiran. Keluasan wawasan ini sungguh membuka cakrawala berpikir. Saya sangat bahagia, I found a home. Majelis ilmu dengan segera menjadi my happy place. Hingga suatu malam saya mengalami epiphany yang membawa saya ke langkah hijrah kedua (Ihwal Sepotong Kain Besar).

Dari sepotong kain besar itu, dunia saya berubah lagi. Jika saya menggambarkan langkah hijah pertama (Ihwal Sepotong Kain 2) sebegitu deskriptifnya, kali ini saya tidak lagi punya kata-kata. 

Nyaris tak ada hari tanpa mencari ilmu. Para pengurus AQL menjadi saksi metamorfosa: menyaksikan saya datang pertama kali dalam jeans ketat, lalu gamis, lalu jilbab panjang, lalu niqab. 

Terlalu banyak cerita dalam periode ini, tak sanggup lagi saya tuliskan satu persatu. Tentang perjuangan berlari menjauhi segala fitna. Tentang mencintai tanpa syarat, hanya karena Allah semata. Tentang menyelesaikan segala urusan dan ganjalan yang tertinggal. Tentang mengakhiri berbagai hal yang sia-sia. Tentang segala sesuatu yang baru: idola baru, hiburan baru, cita-cita baru. Ultimately, tentang panjangnya jalan pertaubatan. Tentang belajar tanpa henti. Bertumbuh tanpa henti. Melepaskan diri dari semua pengharapan kepada mahluk. Mencari kebebasan yang sebenarnya: ketika yang diharap hanya ridha Allah, ketika bergantung hanya kepada tali Allah. 

Allah is The Best Planner

Keberangkatan saya ke tanah suci mengalami 2 kali penundaan. Yang seharusnya berangkat di 2015, lalu mundur setahun, lalu mundur lagi setahun. Setiap kali menerima berita penundaan, saya berpikir, berarti diri saya masih kotor, masih harus dibersihkan, masih belum layak datang menjadi tamu Allah. Tanpa pernah terpikir bahwa, ternyata, Allah berencana mengubah saya demikian drastisnya. And Allah is the best planner.

Allahu akbar. Walillahilhamd.


Next chapter: Cita-Cita yang Sempat Terlupa >>>

<<< Previous chapter: Sentak Tangis di Dalam Angkot


Comments

Popular Posts