Hajj Series Part 3: Suatu Sore di Sebuah Food Court
Thawaf area 3rd floor, Masjid Al-Haram |
I planned, but Allah also plans. And He is the best planner.
"What is your dream, Ri?"
Mulailah saya mengisi tabungan haji dengan proyeksi 5 tahun. Semangat sekali, seneeeng sekali. Ketika ada lebihan uang dikit aja, langsung saya masukkan tabungan. Tabungan haji ini satu arah ya, gaes. Kita bisa masukkan uang, tapi gak bisa ambil. Kayak lubang hitam :D
Setahun berlalu, progress tabungan alhamdulillah lancar sesuai proyeksi. Plus tambahan dari lebihan uang dikit-dikit itu. I was on the right track! Alhamdulillah.
Di awal tahun itu, 2011, pulang dari promo buku NCC - Gramedia ke Solo terus main ke Jokja, seorang teman kontak saya, minta ketemuan ngeteh-ngeteh. Anything for tea, baby. Anything for tea.
Entah kenapa akhirnya kami ngeteh di sebuah food court. I mean, kenapa gak ke Tea Addict aja, hahaha. Ngobrol-ngobrol lah. At one point, temen saya tanya, "Elo punya cita-cita apa, Ri?"
I really like this kind of question. I love talking about dreams, what we can create, brainstorming ideas, how we can make good impact in the future, what intentions we have, future and aspiration things like that. Dan kayaknya jadi habit temen-temen saya kalo ngobrol nanyanya gak jauh dari, "So, elo mau ngapain sekarang?" (baca: Suatu Malam dalam Gerbong Komuter) Atau kayak keponakan saya yang baru-baru ini nanya, "Bucket list diving tante kemana lagi?". Termasuk temen saya tadi, "Elo punya cita-cita apa, Ri?" Demen gue.
Gak pake nunggu 1 detik jawaban saya, "Pergi haji."
Ya udah sik, lanjut ngobrol. Just biasa aja ngobrolin tabungan haji dan proyeksi saya. Bukan sesuatu yang spesial banget untuk dibahas. Hanya satu dari banyak hal lain yang kami obrolin. Pas udah makin sore, temen saya nanya-nanya tentang tarif jasa penerjemahan saya and how I do my work. Dia rupanya punya dokumen yang perlu diterjemahin. Cut the story short, setelah saya jelasin tarif dan lain-lainnya, dia bilang dia mau ajukan dulu ke bendahara kantornya, nanti saya akan dikabarin.
Gak lama habis itu kita udahan, karena udah mau maghrib juga. Really, buat saya gak ada sesuatu yang istimewa dengan obrolan sore itu selain asiknya diskusi dengan seorang teman ditingkahi teh hangat yang nikmat dan ademnya langit di luar jendela yang mulai semburat jingga. Saya udah biasa ditanya soal pekerjaan dan tarif oleh siapa saja yang tahu bahwa saya seorang freelancer. No biggy.
Sampai di rumah, sesuatu mengganggu pikiran saya dan membuat saya terdiam. Wait.. tadi temen saya nyebutin jumlah halaman dokumen sekian ratus halaman. Kalo dikalikan dengan tarif terjemahan saya (waktu itu masih per halaman, sekarang per kata -- penting :D), maka jumlahnya cukup buat saya daftar haji. Wait... really? It is! Sumpah, tadi saya gak ngitung!
Barulah saya menyadari pentingnya ketemuan barusan!
Antara ragu dan excited, sebuah message saya kirim ke teman tersebut.
"Kalo bendahara lo approved, maka ini bisa jadi jalan gue naik haji."
"Gue juga mikir gitu tadi," balas teman saya.
I got excited, berharap, deg-degan, really really really hopeful!
Sepekan kemudian, teman saya kontak lagi, ngajak ketemuan lagi. Kali ini, dia spesifik bilang, "Gue mau nego."
Saya semangat gilakkkkk! Sejuta doa tak terucap di lidah, hanya sanggup muter di jantung dan aliran darah yang mendadak bawa adrenalin banyak-banyak. Di jalan, saya nyusun strategi. Sampai batas berapa saya mau dinego? Saya langsung menetapkan batas bawah: sejumlah syarat daftar haji. Daftar aja deh. Belum yang lain-lain. Itulah batas bawah saya. Setelah itu deg-degan berkurang. Masih excited, tapi berusaha tetep calm, cool and collected. Mau nego nih.
A Negotiation for After Life
Di food court yang sama, hot earl grey yang sama. Teman saya memulai,
"Gue nego ya."
"Ok," kata saya.
"Ini kita pakai aja harga lung sump ya, gak hitung jumlah halaman lagi, tapi satu project."
"Boleh." Man, sepanjang bisa daftar haji!
"Ini kan sekian halaman, kalau harga sesuai tarif elo jadinya sekian rupiah. Tapi gue nego nih jadi harga lung sump..." lalu dia menyebutkan sejumlah uang, yang besarnya PERSIS SAMA sebesar syarat daftar haji!
Gak pake nunggu 1 detik, tangan saya sudah terjulur, "Deal!"
Ia menyambut tangan saya. Jabat tangan persetujuan dan perjanjian.
Angka yang tepat, tidak lebih tidak kurang. Allah bicara dengan bahasa yang akurat. Seperti ayat-ayat dalam Al Qur'an dengan pilihan kata yang akuratnya kebangetan. Dan ayat-ayat di alam semesta yang perhitungannya perfectly precised.
I planned it to be 5 years. But Allah planned it to be only 1 year.
Now I looked back to that first afternoon. Ternyata bukan sekedar diskusi dan teh hangat di bawah langit jingga. Ada hikmah Allah sedang berjalan. Jalinan sempurna yang sudah tertulis dalam lauh mahfuzh jauh sebelum manusia bahkan menjadi sesuatu yang bernama.
Ngobrol dengan teman itu akurat.
Sesap tegukan teh hangat itu akurat.
Tiap garis semburat jingga di langit itu akurat.
I planned, but Allah also plans. And He is the best planner.
Next chapter: Dua Bulan dalam Gua Batman >>
<< Previous chapter: Suatu Malam dalam Gerbong Komuter
Comments
Post a Comment