Hajj Series Part 14: A "Painful" Goodbye.

Untitled


Betapa mesra Allah memperlakukan tamu-tamuNya. Ketika datang, bersalam penuh rindu dalam thawaf quddum. After all the trials, setelah hari-hari dihabiskan bersama, bercengkerama, menumpahkan segala sesak rindu bertahun lepas, tak rela Sang Kekasih melepasmu pergi begitu saja tanpa pelukan terakhir. Allah tidak rela melepas kita pergi begitu saja. 

Thawaf wada’, duhai hambaKu! Mari berpelukan dalam 7 putaran pamungkas, erat! Habiskan air matamu, tumpahkan semua sisa rindumu! Sesungguhnya aku dekat! Lalu pergilah. Be brave. Be strong. Aku lebih dekat dari urat lehermu!

Jaga Aku dalam dzikirmu selalu, karena Aku pun tak lalai mengingatmu. Simpanlah semua kenangan kita di tanah suciKu dalam ruang paling lembut di sanubarimu. Ketahuilah, Aku tak akan menyia-nyiakannya. Setiap bulir keringat, setiap serpih debu di pakaianmu, tiap lecet luka kakimu, tiap panas dan letihmu, tak ada yang luput dari perhitunganKu. Kelak akan menjadi hujjah bagimu. Aku akan membalasnya. BalasanKu tak terbayangkan olehmu. Kau akan melupakan segala sedih duka hari ini. Kau akan bergembira selamanya. Karena janjiKu pasti. JanjiKu pasti.

Mari berpelukan penuh tangis, menuntaskan rindu tanpa sisa. Peluk Aku. Erat. Di tujuh putaran pamungkas!

7 hari jelang tinggalkan Makkah 
Lt 1 lurusan multazam
26 Dzulhijjah 1438
Masjidil Haram 17:48 WAS



Subuh itu, subuh terakhir di Makkah. Saya dilanda kesedihan luar biasa. Berpisah dengan segalanya di tanah bersejarah ini. Ka'bah yang mulia. Thawaf tiap hari. Hati serasa tercabik-cabik, menyadari entah kapan bisa ke sini lagi dan mengalami semuanya lagi.

Seba'da subuh, dalam air mata yang seperti tak bisa berhenti membanjir, dan hati yang sungguh perih seperti tak ada obatnya, saya berdoa. Agar Allah menghilangkan rasa sedih ini. Saya tidak mau sedih. Saya ingin berucap selamat tinggal for now, sampai jumpa lagi, dengan hati puas dan penuh harap. Bukan bersimbah air mata dan menanggungkan hati yang lara.

Dan sebuah kejadian tidak biasa pun terjadi.

Sore itu, kami akan thawaf wada' dan sesudahnya akan langsung masuk bus menuju Madinah. Kami berkumpul di lobby maktab dan headset pun dibagikan. Entah bagaimana saya sempat tidak kebagian headset. Melalui headset ini setiap jamaah haji bisa mendengar suara ustadz pembimbing haji yang memimpin di depan. Tidak lama kemudian sebuah headset disodorkan kepada saya dan saya pakai.

Ketika kami thawaf, saya menyadari bahwa headset saya tidak bekerja. Tidak keluar suara apa-apa meski sudah menyala dan sepertinya tidak ada setting yang salah. Tidak masalah buat saya, kami lanjut thawaf sampai selesai.

Seusai thawaf, teman-teman berkumpul di satu spot untuk berdo'a bersama. Saya ngikut aja ke mana arah teman-teman saya berkumpul, karena saya tidak bisa mendengar panduan dari ustadz. Lalu kami berbaris berjajar di belakang ustadz, menghadap ka'bah, mengangkat tangan, dan saya lihat teman-teman mengaminkan doa sambil mulai bercucuran air mata. Saya tidak bisa mendengar apa-apa, karena arah suara ustadz ke depan ke arah ka'bah. Saya masih sempat kelabakan dengan headset yang tidak mau bersuara dan mencoba mencari posisi, barangkali bisa mendengar suara ustadz. Tapi sia-sia. Headset tidak kunjung bersuara. Suara ustadz hilang dalam keramaian jama'ah.

Saya di belakang, kelu. Tidak mendengar doa. Di titik ini saya menyadari, inilah perlindungan Allah untuk saya dari rasa sedih dan emosional berlebihan, yang mungkin timbul jika saya bisa mendengar doa yang diucapkan ustadz. Sambil masih terpana tak percaya, saya angkat tangan, dan berdoa sendiri.

Selesai berdoa, kami saling berpelukan. Semua teman banjir air mata, mereka dalam kesedihan yang dalam. Saya tertegun, betapa doa saya Allah kabulkan. Sedih saya sudah tumpah di seba'da subuh tadi. Sore ini, Allah ijinkan saya berucap selamat tinggal, sampai berjumpa, tanpa tangis di dada. Tanpa sedih yang melumpuhkan. Hanya penuh harap dan semangat. Kelak berjumpa lagi. Dan kota nabi akan segera kami datangi setelah ini.

Allahu rabbiy, lakalhamd.



Next chapter: A Beautiful Closure - Lesson in the Homeland

<<<< Previous chapter: Pearls of Hikmah (2)

Comments

Popular Posts