Skip to main content

Latest Post

Hajj Series part 6: Masa Menunggu, Masa Pembersihan Diri

Masjid Abdullah ibn Abbas r.a., Tha'if Pentingnya periode menunggu ini saya sadari belakangan. Tepatnya 1 pekan sebelum saya berangkat masuk asrama haji. There I was, sitting on my sister's dining table, working on proofreading for NCC's next recipe book. The thought suddenly struck my head. Enam tahun lalu, saya mendaftar haji dalam keadaan pakai jeans ketat dan jilbab lilit-lilit. Hari ini, saya akan berangkat haji dalam keadaan bergamis gelap longgar dan berniqab. Dalam masa enam tahun ini, tanpa terencana, saya mulai mendatangi majelis ilmu. Lalu bertekun di dalamnya. Saya mendapati diri sangat bersemangat mencari ilmu agama dan sangat bahagia di dalamnya. Terkadang pergi sendirian, tidak peduli tidak punya teman. Saya datang ke tadabbur selasa pagi AQL di masjid Pondok Indah dalam keadaan saya seperti itu: jeans ketat, jilbab lilit-lilit. Ketika saya ingat lagi sekarang, betapa saya baru menyadari kebaikan hati para pencari ilmu di majelis itu. Mereka tidak memandang s...

Hajj Series Part 2: Suatu Malam dalam Gerbong Komuter

Untitled
Menara Masjid Abu Bakr Ash-Shiddiq, Madinah - 7 Muharram 1439

Suatu siang di hadapan CS Bank Muamalat, sekitar 2010.

“Assalamu’alaykum, saya mau buka tabungan haji.”

Customer Servis menjelaskan, saya mendengarkan. 

Bank ini bank favorit saya sejak lama. Tepatnya, sejak mendengar penjelasan tentang riba bank konvensional dari marcomm-nya langsung, dahulu kala ketika masih siaran morning show di Trijaya FM. Bank Muamalat adalah yang pertama dan satu-satunya murni syariah saat itu. Beberapa waktu setelahnya saya buka tabungan pertama di bank ini. Ternyata pelayanannya sangat memuaskan dan sangat memudahkan nasabah. Sementara di bank lain semua urusan printilan, seperti kartu hilang misalnya, lumayan ribet pengurusannya, tidak di Bank Muamalat. Ketika di bank lain memberlakukan fee ini dan itu, penalti ini dan itu, tidak di Bank Muamalat. Lambat laun, saya tutup semua akun di bank konvensional dan hanya punya akun di Bank Muamalat saja. Sampai sekarang, akun utama saya masihlah akun yang lama itu, yang saya buka 20 tahun yang lalu.

Tabungan haji dan umroh ada yang pengisiannya auto-debit, ada yang tidak. Saya memilih non auto-debit karena pekerjaan saya freelance dengan penghasilan tidak tetap. Saya mulai berhitung dalam kepala. Kalau saya bisa menyisihkan 500 ribu rupiah saja sebulan, maka dalam 5 tahun, insyaAllah saya bisa mendaftar haji. Ketika hitungan manusia berjalan, saat itu segalanya terasa real. I almost can taste it on my tongue. I got so excited! Semangat sekali saya, ketika menyadari bahwa ini ternyata sangat achieveable. Ngapain aja selama ini saya dengan duit jajan saya? Habis tak berguna makan-makan dan beli-beli?

Langkah Kecil yang Besar

Selama ini saya tidak pernah berhitung. Tidak pernah mengambil langkah nyata. Tidak pernah menuangkan di atas kertas, apa yang harus saya lakukan untuk mewujudkan cita-cita ini. Padahal air mata selalu membasahi wajah setiap kali lewat tayangan di televisi memperlihatkan Ka’bah dan jama’ah yang tengah melakukan tawaf. Tiap kali hanya bercita-cita di hati, kelak akan ke sana. Tapi tidak ada bukti. Tidak ada langkah pertama.

Bertahun-tahun setelahnya barulah saya lakukan my first baby step.

“Ya mbak, saya mau buka tabungan haji.”

I put down my first 500k into my new hajj saving account. Dengan kupu-kupu menari menggelitik di dalam perut saya. Sangat bahagia.

Suatu malam dalam gerbong komuter bersama seorang sahabat.

“So, loe mau ngapain sekarang?”

“Gue mau pergi haji. Gue udah buka tabungan haji.”

 

 

Next chapter: Suatu Sore di Sebuah Food Court >>

<< Previous Chapter: Menjelang Pergi


Comments

Popular Posts