An Unforgettable Evening (Bag. 2: Dzikrul Maut Akbar - Finished)
Pak Kapten mengarahkan kapal lurus ke titik cahaya itu. Rasanya bagaikan perjalanan paling lama. Lama-kelamaan cahaya mulai membesar, mulai terlihat sosok-sosok manusia. Dan lampu-lampu.
Tapi ada yang aneh.
Terlihat ratusan benda-benda kecil menyembul-nyembul, hitam terapung-apung, mengelilingi tempat itu hingga radius ratusan meter. Semakin dekat, semakin banyak! Apa itu? Tempat apa ini?
Mendadak mesin kapal dimatikan. Lalu terdengar suara mas Arya berteriak panik, "Angkat mesin! Angkat mesin! Angkat mesin!"
Dua awak kapal di bagian belakang -- alhamdulillah -- bereaksi cepat langsung mengangkat 4 mesin di bagian ekor kapal. Beberapa detik kemudian, "Turunkan mesin!" Mesin diturunkan.
Mesin kapal dinyalakan lagi, kapal meluncur lagi. Sesaat kemudian, mesin dimatikan lagi, dan suara mas Arya berteriak lagi, "Angkat mesin!" Mesin diangkat lagi. Lalu diturunkan lagi. Begitu berulang-ulang.
Dengan senter, mas Arya menerangi benda-benda yang menyembul-nyembul terapung di permukaan air. Tali-tali tambang. Keramba-keramba. Buoy-buoy, Saling berjalinan membentuk jaring raksasa, memenuhi area permukaan laut hingga jarak ratusan meter.
Seketika saya sadar bahaya yang begitu dekat mengancam, ketika pertolongan manusia sudah di depan mata.
Ini adalah peternakan mutiara. Tali-tali tambang dan buoy-buoy itu adalah jalinan keramba bawah laut berisi kerang-kerang. Satu detik saja mesin kapal terlambat diangkat, tali-tali itu akan menjerat baling-baling mesin dan kapal akan terbalik. Di sisi lain, mesin tidak bisa dimatikan karena tidak mungkin mendayung.
Malam terasa semakin bertambah-tambah panjangnya. Entah berapa lama kami berada dalam ketegangan yang mencekam, hanya ada suara mas Arya memberikan aba-aba, mesin motor yang dimatikan dan dinyalakan berulang-ulang, dan suara benturan naik dan turunnya mesin. Semua diam. Semua berdoa. Semua menatap nyalang tambang-tambang itu dalam remang cahaya senter.
Dermaga mulai terlihat. Beberapa laki-laki muda berdiri mengarahkan senter besar kepada kami. Terlihat floating block terangkai di depan dermaga. Mesin dimatikan. Dan tidak dinyalakan lagi. Tali dilempar, kapal ditambat.
Kami masih tidak mampu berkata apa-apa. Hening, ketika mas Arya turun menemui orang-orang tersebut dan mulai berbicara. Kami belum berhenti berdoa, berharap mereka orang baik. Semoga mereka orang baik.
Mereka mendengarkan cerita mas Arya. Tidak lama kemudian mas Arya memanggil kami untuk turun. Mungkin wajah kami masih pias pucat pasi ketika kami turun satu persatu, mengucap salam, menyambut jabat tangan mereka dan memperkenalkan diri. Mereka mempersilakan kami untuk bermalam.
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Allahu rabbii. Rabbussamawati warabbul ardhi warabbul 'arsyil 'azhiim. Maha suci Engkau, sungguh kami, kamilah yang zhalim. Kami tidak berdzikir. Kami tidak mengingatMu. Kami hanya ingat Engkau ketika kami ketakutan kehilangan nyawa. Sungguh kami zhalim, yaa Rabb, faghfirlana.. faghfirlana..
Ketegangan ini belum selesai. Malam itu, kami mengetahui bahwa ini adalah Pulau Gam dan peternakan mutiara ini dimiliki dan dijalankan bukan oleh penduduk asli, tapi oleh pendatang. Pemimpinnya berkata kepada kami, "Alhamdulillah, kalian bertemu kami. Kalau kami ini penduduk asli, besar kemungkinan kalian tidak bernyawa lagi."
Jika facility ini dimiliki oleh penduduk asli, kami dianggap tresspassing, menerobos property tanpa ijin, karena itu harus dibunuh. Bertahun kemudian saya mendengar cerita ustadz Fadlan Garamatan yang kakinya ditombak detik ia menjejakkan kaki di desa tujuan dakwahnya. Allah.. Allah, betapa sedikit kami berdzikir, betapa sedikit kami minta ampun, betapa sedikit kami bersyukur, betapa rahmat dan ampunanMu melebihi yang pantas kami terima.
Hingga saat saya menuliskan ini, perut saya masih terasa seperti diaduk-aduk. Masih teringat kalutnya, yaa Allah. Bagai gambaran hari akhir di surah-surah juz 30, astaghfirullah.
Sesudah semua berlalu barulah saya ingat Pak Haji di desa Selpele. Satu-satunya muslim di desa itu, yang membuka rumahnya untuk kami tumpangi sholat, yang tangannya tidak berhenti menghitung tasbih dan lafazhnya basah oleh dzikir. Yang memberikan nasihatnya kepada kami di dermaga, "Jangan lupa dzikir!"
Astaghfirullah.
Semoga Allah karuniakan Pak Haji itu dengan kemudahan dan kelapangan dunia dan akhirat, dan surga tanpa hisab. Aamiin.
--
Epilog:
Esok paginya kami bertolak melanjutkan perjalanan menuju Waisai. Gerbangnya adalah selat Kabui.
Selat indah berlaut dangkal ini seharusnya sudah kami temukan sore kemarin. Lokasinya dekat dengan Wayag. Perkiraan kami tidak akan lama kami sudah menemukannya dan dengan segera sampai di Waisai. Saya ingat sore itu sebelum kami betul-betul kalut, mas Arya memegang peta dan melihat ke sekeliling dengan wajah bingung , "Harusnya di sini kita sudah bertemu selat Kabui! Harusnya di sini! Tidak jauh semestinya sudah kelihatan!" Tapi yang terlihat hanya laut semata.
Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Betapa sombongnya kami, betapa sombongnya saya.
Kami mengucapkan terimakasih yang tidak mungkin cukup kepada pengelola peternakan mutiara beserta timnya yang luar biasa baik hati dan ramah. Buat saya, mereka orang-orang istimewa pilihan Allah. Semoga Allah balas kebaikan mereka dengan ampunan dan surga tanpa hisab, aamiin.
Mungkin tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di selat Kabui! Selat yang kemarin kami cari-cari! Astaghfirullah.
Sungguh Allah telah menutup pandangan mata kami untuk menundukkan kesombongan manusia, mengajari kami pelajaran paling berharga: manusia tidak punya daya dan Allah lah penguasa langit dan bumi. Allah Rahmaan, Rahiim. Allah Kariim.
Selat Kabui
Selat dangkal yang sangat indah ini bagaikan bonus dari Allah yang membuat kami, saya , tertunduk malu. Rasanya tidak pantas kami menerima keindahan ini. Laut dangkal, pulau-pulau limestones, dengan manta-manta besar dan kecil yang sering kali terlihat melintas di beningnya air yang terjangkau tangan.
Setelah episode dzikrul maut akbar kemarin, mendapati alam bagai surga sungguh membuat hati saya ngilu. Seperti tidak cukup keindahan ini membuat saya terdiam, rasa malu dan takut lebih melunglaikan jiwa. Bagaimana mungkin manusia pantas menerima kasih sayang Allah, jika sekedar mengingatNya saja lalai?
Ampuni kami yaa, Allah. Rabbanaghfirlanaa. Rabbanaghfirlanaa.
--
Diselesaikan di bangku taman Kebagusan City, jelang maghrib
Jum'at, 7 Rabiul Awwal 1445 | 22 Sept 2023
--
Catatan Singkat Tentang Pulau Gam:
Di malam hari ketika kami selesai membersihkan diri dan akhirnya merebahkan tubuh di mess peternakan mutiara ini, barulah kami menyadari ramainya suara burung malam. Bagaikan berada di taman burung!
Suara-suara burung yang eksotis terdengar bersahut-sahutan tak berhenti, ada yang jauh, ada yang dekat. Kami hanya bisa menebak-nebak, kira-kira seindah apa paruhnya, sewarna-warni apa bulunya, sepanjang apa ekornya! Saya membayangkan cendrawasih dan burung-burung berparuh panjang berjambul indah.
Allah, Allah, aku tunduk yaa, Rabb. Kami dengar, kami ta'at.
Berjalanlah di muka bumi, lihat, dengar, alami. Cukuplah alam ini menundukkan hati. Tidaklah Allah ciptakan semua ini sia-sia.
Comments
Post a Comment