Ternate: Teluk Sulamadaha, Uang Seribu dan Pondok Pak Diko

Previous Chapter:
Perjalanan untuk Orang Gila dan Orang Bodoh

Medio November 2011

Mengawali pelayaran dari Ternate, berarti pagi ba'da subuh itu kami sudah harus di Soekarno-Hatta untuk menuju Bandara Sultan Babullah, Ternate.

Ternate 311
Tepat di balik mendung tebal itu, gunung Gamalama tegak berdiri
Siapa sih, Sultan Babullah itu, kakak?

Pertanyaan cakeb bin ganteng. Rihlah yang penuh makna adalah ketika kita memahami latar belakang sejarah tempat tersebut, yang akan bikin kita makin menghayati budaya setempat, menghormati perbedaan, dan pada akhirnya mengambil pelajaran dari kaum terdahulu. Pelajaran ini adalah hikmah, yang bersama dengan pengalamaan perjalanan, akan membuat kita pulang menjadi manusia yang lebih baik, hamba Allah yang lebih bertaqwa.

Sultan Baabullah (artinya pintu Allah - pen.) adalah penguasa Kesultanan Islam Ternate ke-24 pada abad ke 16, menurut perkiraan ahli sejarah, 1570-1583. Nah, Kesultanan Islam Ternate sendiri adalah satu dari 4 kesultanan Islam di Maluku yang diperkirakan mencapai masa keemasannya pada abad 13 hingga abad 16, yaitu Kesultanan Islam Ternate (Gapi), Tidore, Bacan, dan Hitu (Ambon). Kekuasaannya membentang dari Sulawesi hingga area kepala burung di Nuu War (Papua). Dan ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dengan kerajaan Islam nusantara lainnya yang meluas dari Kesultanan Jeumpa di Aceh hingga ke seluruh sudut Nusantara (biar makjoss, simak sejarah masuknya Islam ke Nusantara: https://youtu.be/4G3FonEJoIM). Karenanya tidak mengherankan, jika kita melakukan jelajah Indonesia Timur, kita akan selalu bersentuhan dengan jejak-jejak Islam yang kental dan dominan dalam budaya, tradisi dan peninggalan sejarah.

Ini pertama kali saya ke pulau kecil di barat Halmahera ini. Ketika kaki menjejak bumi, Gunung Gamalama menyapa tepat dari tengah pulau. Besar dan megah. Ahlan wasahlan!



Teluk Sulamadaha

Teluk kecil ini terletak di utara pulau Ternate. Saking cekungnya hingga seperti membentuk laguna dengan air yang beniiiiing.. Kalau googling Teluk Sulamadaha, pastilah terkaget dengan foto-foto kapal-kapal yang seolah melayang saking bening airnya. Saya hanya sempat cekrek beberapa kali, setelah itu sudah tidak peduli lagi dengan kamera, buru-buru naik ke perahu dan meluncur ke tengah teluk.

ternate 01

Di sekeliling teluk ini batu-batunya hitam dan ada bagian-bagian pinggir teluk yang mengeluarkan air panas. Allah Arrahman mengaruniakan Indonesia dengan gunung-gunung berapi aktif yang meski berisiko bisa meletus setiap saat, tapi juga membuat penduduknya bisa menikmati air panas gratis, bahkan di tempat-tempat tak terduga seperti teluk cantik ini. Perahu menyusuri keliling teluk dan lalu berhenti di sisi yang paling enak untuk nyender-nyender ke pinggiran Teluk. Semua turun berendammmm, sementara air panas menyembur-nyembur badan dari bebatuan pinggiran teluk, menjadikan air laut sekeliling jadi hangaaaat.. subhanallah!

Kayaknya kalo gak inget hari semakin sore dan sebentar lagi gelap, gak bakal beranjak dari situ. Norak lah pokoknya.

Benteng Kalamata

Ternate adalah pulau seribu benteng. Banyaaak banget benteng peninggalan sejarah di pulau mungil dan cantik ini, ada yang bisa dipertahankan bentuknya, ada yang sudah berupa reruntuhan. 

Saya memang gak pernah melewatkan kesempatan untuk mengunjungi benteng manapun, meskipun gak ada benteng yang ada atapnya, dan itu berarti kepanasan atau kehujanan, haha.

Kami masih punya seharian keesokan hari sebelum lusa bertolak memulai pelayaran. Bakal teman-teman seperjalanan mulai berdatangan. Saya kenalin Soni dan Darocky dengan Indhi, yang memperkenalkan diri sebagai, "Indiana Jones, Indiana Jones."

Ada beberapa benteng di Ternate, kami sempat menyambangi dua. Benteng Kalamata di tepi laut dan Benteng Kastela di tengah kota. Benteng Kastela, sebagian besar sudah menjadi puing. Bagian yang masih utuh berdiri bersama rumah-rumah penduduk dan bangunan lain. Terlihat  meriam-meriam kuno tergeletak di jalan-jalan, tak terawat. Uhuhu, sedih. 

Benteng Kalamata terjaga dengan baik dan dipugar. Letaknya persis di tepi laut seperti umumnya sebuah benteng dibangun. Keren!

ternate 02

Benteng ini dibangun oleh Portugis, sempat diambil alih oleh Spanyol, sebelum kemudian dikuasai Belanda. Kalamata adalah nama Pangeran Ternate yang wafat di Makassar pada 1676. Pada 1994 Depdikbud memugar benteng ini dan pada 2005 Pemda Ternate menambahkan beberapa renovasi tambahan.

Karena letaknya persis di tepi laut di sisi yang menghadap pulau Maitara dan Tidore, kedua pulau ini bisa kita lihat sambil main-main jumpalitan di atas benteng. Etapi kami kepingin lihat view kedua pulau ini persis kayak di uang seribu. Jadi setelah rambut bau matahari dan kulit bau gorengan, kami menyusuri sisi laut Ternate mencari spot duit seribu itu. Nyusahin deh pokoknya.

Uang Seribu Versi Live

Image Source: Kaskus

Yah gak persis-persis amat sih anglenya, kurang kesana-an, hihihi. Yang persis di depan mata adalah Pulau Maitara, yang di belakangnya Pulau Tidore. Yang diblur itu bukan saya. #jawabduluan

Batu Angus

Batu Angus adalah satu sisi pantai di Ternate yang penuh berisi batu-batu hitaaaammmm, tersebar dari kaki Gunung Gamalama hingga ke pantai. Bebatuan hitam ini pada dasarnya adalah lahar yang mengering dan menghitam, yang dimuntahkan Gunung Gamalama pada tahun 1673.

Gunung Gamalama ini masih aktif sampai sekarang. Sewaktu kami di sana, sesekali terlihat asap keluar dari kawahnya. Seba'da kami meninggalkan Ternate sekitar 2 pekan kemudian, gunung ini meletus cukup hebat.



Pondok Pak Diko

Tidak jauh dari Batu Angus ada sebuah tebing yang di atasnya terdapat pondok super mungil terbuat dari kayu. Pak Diko pemilik pondok ini. Pondok kayu ini terdiri dari 2 lantai, hanya punya 1 ruangan kecil, selebihnya teras semi terbuka. Tidak ada listrik, tidak ada lampu. Jika kita memandang ke bawah dari atas tebing ini, orang-orang di pantai kelihatan kueciiiiiiil sekali. Entah berapa puluh meter tingginya tebing ini.

Di sinilah kami menginap malam ini sebelum besok mengarungi laut. Dan sepulangnya dari Raja Ampat sepekan kemudian, di sini pula kami bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ambon lalu ke Banda Neira.

Di ujung tebing terdapat bangku kayu dan bebatuan yang enak ditongkrongi dan berlama-lama memandang laut lepas dan orang-orang di pantai yang bagai semut. Pemandangan alam terbuka membentang luas seluas-luasnya. Bila kita melihat ke bawah ke pangkal tebing, terlihat ombak memecah bebatuan dan mencipratkan air hingga tinggi dan besar, nun jauh di bawah kaki kita.

Ketika malam tiba yang terdengar hanya suara ombak, angin dan serangga malam. Tidak ada lampu sama sekali. Langit, bintang, bulan, persis di hadapan kami semacam teater raksasa. Subhanallah.

Saya merenungi segalanya dengan rasa syukur yang membutuhkan rasa syukur lagi. Tempat "mewah" ini kami nikmati tanpa membayar sepeser pun. Pak Diko tidak minta apapun selain "uang rokok" saja. Saya melihat tempat ini tidak beda dengan resort-resort mewah. Menawarkan hal yang sama: pemandangan yang mencekat nafas, memencil dari segala peradaban, koneksi total dengan alam. Sungguh mahal. Allah Arrahman had given us this for free.

Pak Diko adalah orang pertama yang kami cari kabarnya ketika Gunung Gamalama meletus 2 pekan kemudian. Alhamdulillah beliau selamat. Semoga Allah senantiasa menjaganya.

 



Next: Perairan Kepulauan Guraichi dan Desa Timlonga


Comments