Skip to main content

Latest Post

Hajj Series part 6: Masa Menunggu, Masa Pembersihan Diri

Masjid Abdullah ibn Abbas r.a., Tha'if Pentingnya periode menunggu ini saya sadari belakangan. Tepatnya 1 pekan sebelum saya berangkat masuk asrama haji. There I was, sitting on my sister's dining table, working on proofreading for NCC's next recipe book. The thought suddenly struck my head. Enam tahun lalu, saya mendaftar haji dalam keadaan pakai jeans ketat dan jilbab lilit-lilit. Hari ini, saya akan berangkat haji dalam keadaan bergamis gelap longgar dan berniqab. Dalam masa enam tahun ini, tanpa terencana, saya mulai mendatangi majelis ilmu. Lalu bertekun di dalamnya. Saya mendapati diri sangat bersemangat mencari ilmu agama dan sangat bahagia di dalamnya. Terkadang pergi sendirian, tidak peduli tidak punya teman. Saya datang ke tadabbur selasa pagi AQL di masjid Pondok Indah dalam keadaan saya seperti itu: jeans ketat, jilbab lilit-lilit. Ketika saya ingat lagi sekarang, betapa saya baru menyadari kebaikan hati para pencari ilmu di majelis itu. Mereka tidak memandang s

Taman Nasional Wakatobi - More Than Coral Reefs (Bag. 2)

Wanci, Pulau Wangi-Wangi

Wakatobi 022

Ibu kota Wakatobi ini terletak di pulau Wangi-wangi. Kepulauan Tukang Besi sendiri terdiri dari 4 kepulauan besar: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, hence the popular name Wa-Ka-To-Bi. Saya akan ketemu dengan teman-teman di Wanci ini keesokan pagi, sebelum memulai perjalanan kami menjelajah Wakatobi.

Ojek membawa saya ke Penginapan Lamongan *loh kok Lamongan? Katanya di Sulawesi :D* di Jl. Merdeka, gak jauh dari pelabuhan. Saya tau penginapan ini dari Riri, ketika dia tau saya cari penginapan murah hanya untuk numpang tidur satu malam sebelum bergabung dengan grup Explore Indonesia esok hari.

Tempatnya bersih, kamarnya cukup luas untuk ukuran backpacker yang biasa umplukan di homestay, dan ya, ..murah :) Dengan 65 ribu Rupiah per malam saya mendapatkan kamar seluas 3x3,4 meter persegi *saya beneran ngukur nih :D*, double bed, TV dan kamar mandi di dalam. Bersih, nyaman, muat 4 orang kalo yang 2 lagi bawa sleeping bag.

 
Saya ketemu Ibu Rubina, pemilik penginapan, yang tanpa kata-kata langsung ngasih kunci dan mengantar saya ke kamar yang terpisah dari rumah induk. Ketika keesokan paginya saya keliling mau jemur handuk, baru lihat di bagian atas kamar saya berjejer kamar-kamar dengan kamar mandi dan TV di luar, 45 ribu per malam. Plus dibikinin teh manis pagi-pagi. Sedep kan?

Mas Mahrun dari Explore Indonesia jemput saya sekitar jam 9 pagi, lalu kami ke Hotel Wakatobi untuk bergabung dengan Indhi yang baru tiba dari Bau-Bau, P. Buton - *yup, ada Wangi-Wangi dan ada Bau-Bau, more story to this later :)*, naik kapal kayu kayak yang saya tumpangi tadi malam, dan Titi yang naik Express Air dari Ujung Pandang. Kami akan menjemput 2 orang lagi, Boetje dan Ciwi, di dermaga kecil gak jauh dari penginapan. Mereka datang naik kapal reguler dari Tomia, karena udah sampe duluan di sana beberapa hari sebelumnya untuk diving. Saya sama Indhi mewek kepengenaaaan..

Grup kami hanya 6 orang termasuk mas Mahrun. Grup kecil yang menyenangkan. Boetje bawa buku mengenai Wakatobi yang langsung kami kerubuti. Foto covernya sungguh-oh-amat-mencengangkan: pemandangan bawah laut terumbu karang warna-warni, dengan centerpiecenya sebuah karang raksasa berbentuk spade berwarna merah menyala! Bagai monumen raksasa yang dipahat sempurna langsung oleh tangan-tangan malaikat atas kehendak Sang Khaliq! Masya Allah..

Sepanjang jalan keliling Wanci, saya, Indhi dan Titi asik menikmati foto-foto diving mereka di Tomia dan langsung setuju untuk diving di Pulau Hoga.

Suku Bajo dan Suku Daratan

Suku Bajo dan Suku Daratan adalah dua dari banyak suku penduduk Wakatobi. Mereka berasal dari satu suku, yaitu suku Bajau. Hanya saja suku Bajo memilih untuk tetap berumah tepat di atas laut, sementara suku Daratan bergerak lebih ke darat.

Ketika menjemput Boetje dan Ciwi di dermaga kecil dekat penginapan, kami melewati perkampungan suku Daratan di dekat dermaga. Perkampungan suku Daratan bisa dibedakan dari bentuk dan lokasi rumah mereka. Meski sama-sama di pinggir laut, rumah suku Daratan lebih menjorok ke darat dan sudah menggunakan fondasi permanen dari beton. Berbeda dengan suku Bajo yang benar-benar di atas laut dan mengandalkan karang untuk fondasi rumah panggung mereka.
Wakatobi 013 Wakatobi 014
Saya kesenengan mengamati anak-anak dan penduduk hilir mudik mendayung perahu di antara rumah-rumah mereka. Anak-anak berenang dan bermain air, di laut bening biru yang menjadi halaman belakang rumah mereka.

Satu hal langsung menarik perhatian saya. Penduduk Wakatobi sangat ramah, terbuka dan terbiasa dengan pendatang. Anak-anak Bajo langsung berpose dengan kenes dan gagahnya setiap kali lensa saya arahkan kepada mereka. Mereka tertawa, merespon dan sangat menyenangkan diajak berkomunikasi. And they seemed sooo happy, their smiles were contagious!

Wakatobi 015

Pertanian Rumput Laut

Dengan laut yang yang demikian luas dan kaya, selain ikan, rumput laut pastilah menjadi salah satu sumber daya alam yang diandalkan penduduk setempat. Kami melewati pertanian pantai ini dan langsung teriak-teriak panik minta berhenti :D. Look at that color of the sea! Oh, so beautiful!

Wakatobi 017Wakatobi 071Wakatobi 019

Beberapa petani rumput laut tengah bekerja mengurus lahannya masing-masing. Merapikan batas-batas, memeriksa hasil panen, memilah rumput laut. Saya melihat ibu yang cantik ini dan segera mafhum melihat kemiripannya dengan tokoh Tayung yang diperankan Atikah Hasiholan di film The Mirror Never Lies.

Para wanita di Wakatobi mengenakan bedak dingin ketika mereka beraktifitas di laut untuk mencegah kulit wajah mereka terbakar *raba muka sendiri*. Jadi waktu kami ke Desa Sama Bahari, desa suku Bajo yang di atas lautan itu, kami rame-rame pake bedak dingin ini, gak cewek, gak cowok, hihihi.. Dan, bener lohhhh! Kulit muka gak item dan gak kebakar sama sekali! Padahal berjam-jam kami terpanggang matahari laut Indonesia Timur yang super cerah, di atas perahu tanpa tudung! Beuhh.. Nivea gak bakal laku di sini!

Benteng dan Masjid Liya Togo

Benteng Liya Togo merupakan salah satu benteng pertahanan terluar dari kesultanan Buton yang melindungi benteng Wolio di P. Buton dari gangguan yang dapat merusak stabilitas benteng Wolio sebagai pusat pemerintahan kesultanan Buton. Seperti halnya Benteng Wolio --benteng terbesar di dunia (!!) yang mana saya sangat napsu ke sana-- benteng ini tersusun dari batu-batuan dan karang yang direkatkan dengan agar-agar dari rumput laut dan putih telur.
Wakatobi 021
Dibangun pada abad 16, benteng ini sudah mengalami pemugaran. Di kompleks benteng ini terdapat masjid tua Liya Togo yang juga berumur sama dengan benteng, dan beberapa makam keluarga kesultanan Buton. Konon dari masjid inilah Agama Islam pertama kali menyebar di kepulauan Tukang Besi dan sekitarnya, sehingga saat ini seluruh penduduk Wakatobi beragama Islam.

Kami keliling dan motret, saya nyari-nyari meriam peninggalan kerajaan Buton kok gak nemu ya????

Goa Mata Air Kontamale

Di Pulau Wangi-wangi terdapat 12 goa alam yang merupakan sumber mata air tawar. Whoaaa..! Uh-huh. Gak cuma bawah lautnya aja yang spektakuler yaaa ternyataaaa... Bahkan ada sebuah pantai yang dinamakan Pantai Moli Sahatu, atau Pantai Mata Air Seratus. Di pantai ini terdapat ratusan mata air tawar menyembul kecil-kecil sepanjang pantainya. Lucuk banget kan?

Kami hanya sempat ke Kontamale di akhir pelayaran hari terakhir, itupun sudah menjelang maghrib, sehingga udah gak bisa motret lagi karena gelap. Kalo ke sana siang-siang, tentu bisa motret airnya yang biru beniiing..

Pantai Cemara dan Pantai Waha

Wakatobi 024
Kami cuma sempat ke dua pantai ini. Well, satu lagi ke pantai di Patuno Resort sih. Tapi tempat mewah itu, yang biasa digunakan para pejabat untuk raker, meeting, dan sejuta alasan untuk liburan, sumpah gak asik. Indah, tapi gak asik. Beton semua, gak ada kehidupan penduduk asli. Ya iyalah, resort :D

Di Pantai Waha terutama, rumah-rumah penduduk berbaris, bapak-bapak nelayan melepas lelah dan ngopi di bale depan rumah, anak-anak bermain bola di pantai, main perahu di laut. Beuhh.. mana mereka semua seneng banget lagi saya fotoin.
Wakatobi 023
Wakatobi 073Wakatobi 074
Kami menikmati senja yang turun perlahan sambil mengamati anak-anak Wakatobi main perahu, mengagumi warna Laut Banda yang keperakan seperti foto infrared, langit senja biru-jingga-silver, lambaian ombak laksana kain beledu.

to be continued..

Comments

  1. it is my hometown...thanks for you information...so interesting

    ReplyDelete
    Replies
    1. I love your hometown. Thank you for coming by my blog.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts