PTD: It's All About Context!
...
Minggu lalu, PTD bareng BatMus ke bekas De Javasche Bank, alias Museum BI sekarang. I had such a blast.
Batere kamera sempet abis, cari-cari yang jual batere di pelataran depan gak ada. Akhirnya, "Pak! Anter ke Indomaret terdekat ya, mau beli batere!" Deeeenggg....gowes, gowes, naiklah gue dengan tingginya di belakang bapak tua ojeg sepeda, yang mengayuh sepeda jengkinya dengan riang gembira. Oemar Bakrie, Oemar Bakrie...
Angin sore lembut membelai jidat dan kerudung. What a beautiful afternoon! Di kiri-kanan Jl. Kali Besar, beberapa kelompok ABG dan dewasa dengan penampilan funky lagi pada berfoto ria, memanfaatkan indahnya kota tua yang baru direvitalisasi oleh pemerintah daerah. Sutiyoso yang jelek dan bau, kalo lagi gini, gue cinta elo dah! Bangunan Belanda, trotoar, jembatan... Adinda serasa lagi main film Doea Tanda Mata, meneer!
Tentang museumnya sendiri, biarkan Adep yang cerita. Dan foto-foto.
In a nutshell, pengalaman kencan pertama dengan BatMus, amatlah sangat berkesan. And I'm craving for more!
Poto-poto:
Kalu gak salah, ini artinya "Ruang Kas dan Penukaran".
Kalo yang ini "Ruang Saham".
Jangan ngaku dosa di sini ya, hihihi... Sebab ini bukanlah bilik pengakuan dosa, walaupun bisa juga sih ngaku dosa di sini, huahaha...
Ini adalah bilik-bilik tempat melayani nasabah jaman doeloe kala. Para bankirnya ada di balik teralis. Nyaman bener yak, mau leyeh-leyeh juga bisa tuh di dalem.
Kaca patri dan atap tinggi lengkung yang Belanda banget. Jadi inget langit-langit kelas gue di SMA 3 dulu, yang mempertahankan arsitektur bangunan belandanya. Langit-langitnya juga lengkung-lengkung.
Masuk ruang Numismatik, atau bahasa perancisnya "ruang deduitan", kayak masuk lemari besi. Liat pintunya!
Banyaaaak duit kuno lain yang super duper menarik, fascinating, dengan sejarah panjang yang mengikutinya. Doeit-doeit kerajaan-kerajaan nusantara di masa lalu yang membuat rahang gue jatuh serendah-rendahnya, sehingga gak mampu lagi ngejepret foto, sibuk mungutin rahang yang jatoh melulu. But I managed to shoot doeit perkebunan Cimahi, 1 sen, terbuat dari kayu, dan doeit perkebunan Tanah Radja di Asahan, logam 1 dollar. Yea, ternyata kitaorang ada yang sempet bermata uang dollar, coooyy! Jaman dulu tiap perkebunan punya mata uang sendiri. Jadi pengen juga bikin mata uang, berlaku di er-te gue doank. Seru gak tuh, hihihi..
Ini duit sengaja pada digunting jadi dua pada jaman pemerintahan Pemerintah Darurat RI. Satu sisi berfungsi sebagai duit biasa, satu sisi lagi berfungsi sebagai surat obligasi pemerintah. Yaaah, namanya juga darurat.
Surat obligasi itu diberlakukan dengan bunga tertentu, tapi baru boleh diuangkan 40 tahun kemudian. Hihihi..
Jadi kalo ketemu duit kuno yang cuma sebelah kayak gini, punya nenek kita jaman dulu, bukannya si nenek lagi bete terus ngerobek-robek duit. Tapi barangkali itu obligasi jaman doeloe kala yang nilai historisnya melebihi nilai nominalnya.
Itu adalah tangan. Dan di belakangnya adalah uang Kampua. Yaitu uang Kerajaan Buton jaman doeloe, yang terbuat dari kain tenun. Jadi ukurannya kira-kira selebar telapak tangan gue *Maklum CSI gak kesampean*
Di lorong gelap menuju ruang teater, ada dinding di mana terdapat 'duit-duit logam' berterbangan ke sana kemari. Kalo kita berhasil 'menangkap' salah satu duit itu, keluarlah penjelasan mengenai duit tersebut. Permainan cahaya dan sensor. Cool, huh?
Ini adalah peta nusantara jamannya pelaut masih tebak-tebak buah manggis kayak apa bentuk nusantara. Pusing doi, pulaunya banyak banget. Hihihi.. emang enak nemuin kita?
Liat deh bentuk pulau Sulawesi. Huahaha...
Ini memang gambar yang paling gak menarik. But actually, this is the best part! You know, justru bagian-bagian yang paling menarik adalah bagian yang gak sempet ketangkep kamera, karena fotografernya betul-betul terkesima sampe gak sempet ngejepret!
Ya! Ini adalah ketika Guru Besar Arkeologi UI, pak Otti, dan bapak satu lagi *lupa namanya* yang juga ahli sejarah dan rekonstruksi, menjelaskan sedetil-detilnya mengenai situs De Javasche Bank, lengkap dengan konteks yang mengelilinginya. Peta-peta dan denah bersejarah digelar. Tiap sketsa dan footage dibahas dan dibandingkan dengan kondisi aktual. Plus bercerita detil tentang penggalian yang sedang blio lakukan di sekitar Museum BI, yang mana daripada adalah merupakan bekas tembok kota Batavia. Sebagai CSI-wanna-be, this really fascinated me. Ow, my, God.
"Menemukan pisau di tanah, dengan menemukan pisau di dapur, akan beda artinya. Ketika saya menemukan sebuah artefak, saya harus gali sekelilingnya untuk mengetahui cerita di balik artefak tersebut. It's all about context."
Pak Otti, sang arkeolog, bercerita mengenai bagaimana sebuah tim arkeolog bekerja *Oh, Agatha Christie!* I just can sit there all night listening to them.
Ok deh, Dep. Nyembah deh gue.
Adep bercerita:
De Javasche Bank, yang kini sudah berubah menjadi Bank Indonesia, memiliki kisah perjalanan yang panjang. Gedung museum yang sekarang bercokol di Jakarta Kota pun, telah berubah fungsi menjadi Museum Bank Indonesia. Mari kenali riwayatnya.
Pada djeman dahoeloe kala, di locatie ini gedong dimangpa'atken sebagi ziekenhuis (ziek = sakit, huis = rumah; makanya sekarang kita mengenal istilah: Rumah Sakit). Dengen seboetan jang bekend pada itoe tempo: Binnen Hospitaal. Ini gedong kali pertama digoenaken oleh De Javasche Bank pada tanggal 8 April 1828. Kamodian pada tahon 1910 sasoedahnja menempati gedong toea bekas ziekenhuis, lantas De Javasche Bank bikin rentjana pembangoenan jang dikerdjakennja oleh Bereau Architect “Ed. Cuypers & Hulswit” sebanjak lima tahap, ia itoe: 1910, 1922 en 1924, 1933, jang paling achir 1935, hingga gedongnja nampak tjiamik sekarang.
Yah! Gedong ini sekarang menjadi Museum Bank Indonesia. Sebuah museum yang modern, canggih dan nyenengin. Gimana enggak? baru masuk di bagian depan aja udah kerasa atmosfir jadulnya, blom lagi pas belok kanan, dengan penjelasan yang okeh punya, lagi bisa dibaca tulisannya dengan sangat jelas, udah gitu pas masuk ke arah Ruang Teater, kita bisa menangkap uang logam yang melayang di tembok (duh gimana bisa sih? nah mendingan lu buktiin aja dah!), begitu uang logamnya ketangkep, maka dia akan memberikan penjelasan (nah makin bingung deh cerita gue ini!), pokoknya nih museum keren dah, beneran kayak di luar negeri! hehehe..
Udah gitu abis nonton pelem tentang sejarah gedung ini, kita bisa melihat banyak sekali koleksi di museum ini, termasuk Peta Kepulauan Nusantara di djaman doeloe tatkala para pelaut asing masih mengira-ngira gimana bentuk pulaunya, yah gituu deh peta tahun jebot yang masih amburadul gambarnya, tapi keren euy, sumpah!
Jalan sedikit agak ke dalem, kita masuk ke Ruang Numismatik. Memahami sekaligus mengenal uang-uang yang beredar di Nusantara selama ini, dari jaman kerajaaan, VOC, Hindia-Belanda, pendudukan Jepang 1942-1945, hingga jaman kemerdekaan. Udah gitu yang lebih menarik lagi, kitaorang bisa bisa masuk ke ruangan yang lebih keren lagi, menyaksikan uang-uang dari kerajaan yang berkuasa di Nusantara pada jaman dahulu kala, seperti Uang Ma (atau disebut juga Masa) dari beberapa kerajaan seperti: Mataram, Majapahit, Kediri, Samudera Pasai. Uang ini terbuat dari emas atau perak (wwwuuiih asik banget nih kalo punya uang ini di celengan kita. Hah? Celengan? udah pada tau kan celengan tuh adalah tempat menabung berbentuk celeng, trus kalo menabung? yah.. berasal dari kata Tabung. doeloe orang-orang menyimpang duitnya di tabung bambu, mungkin sebelom jaman orang menyimpan duit di bawah bantal :)
Juga ada Uang Gobog dari Kerajaan Majapahit yang berfungsi sebagai Jimat, dan yg dari Kerajaan Banten yang uangnya berfungsi sebagai Jimat Cinta, aduhaaaiiii...
Trus, trus, trus, ada lagi nih uang yang disebut: Uang Kampua, yang berwujud kain tenun, yang dijahit oleh putri-putri Kerajaan Buton pada sekitar abad ke-14. Kain tenun ini setiap tahunnya dibuat dengan motif berbeda, hal ini dilakukan untuk menghindari pemalsuan (duh, jaman dulu aja udah ada pemalsuan) Penggunaaan uang yang berwujud kain tenun ini ada di pada saat perintahan Ratu Bulawambona. Buton sekarang masuk ke dalam Provinsi Sulawesi
Tenggara, eh iya ntar kita juga mau plesiran kesini lho, suwer dah, yah kira-kira 2009 kali ye, karena tahun 2008 nanti kita mau plesiran menelusuri Jalan Raya Pos (De Groote Postweg), Jalan Raya Daendels, yang di tahun 2008 nanti genap berusia 200 tahun (1808 - 2008), berkendara dengan bus AC dari Anjer hingga Panaroekan, dan nginap di Anjer, Bandoeng, Cheribon, Pekalongan, Semarang, Soerabaia dan Panaroekan. *Deeeep, gue ikuuuuuuuuuuttt!!!*
Kemudian ada uang yang bisa melengkung sendiri bila diletakkan di telapak tangan, karena uang ini mengandung fosfor, yang kalo kena suhu panas tubuh, maka uangnya akan melengkung sendiri. Ada lagi uang jaman perkebunan. Pada suatu ketika, setiap perkebunan mempunyai otoritas untuk memproduksi dan mengedarkan uang sendiri, dan sayangnya hanya beredar di wilayah mereka sendiri (waaah gak bisa dipake untuk liburan ke Bali dong!) uangnya bentuknya lucu, ada yang segi tiga, ada yang terbuat dari bahan bambu, tapi kebanyakan terbuat dari logam. Lalu kalo mau merasakan denyut perdagangan rempah-rempah di Nusantara djaman doeloe, Museum BI ini masih ada lho koleksi aselinya, uang yang digunakan oleh orang-orang sejak Portugis datang. Oh ya jaman di masa awal-awalnya orang Portugis datang, uang yang dipakai adalah Real Spanyol, lantas pada jaman Belanda berkuasa, digantiin dengan Rijksdaalder. Nah dari nama mata uang Rijksdaalder, kita mengenal istilah: Dollar, karena ketika jaman itu, orang menyebutnya: daalder, daaldet, makanya orang Amerika akhirnya menyebutnya dollar.
Ingat, Amerika doeloe (terutama Pantai Timur-nya) masih menjadi koloni Belanda, dan ingat doeloe ada perjanjian antara Belanda dan Inggris di tahun 1667, ditandai dengan perjanjian Breda yang menyatakan bahwa Belanda membarter Pulai Run di Banda Neira dengan Pulau Nieuw Amsterdam (Manhattan) yang sekarang ada di New York sana!
Pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816), uang yang berlaku adalah: Picis Jawa (kalo hari ini mengenal "roman picisan," itu karena doeloe banyak dijual karya tulis roman (novel) yang seharga satu picis, sepicis).
Ada lagi uang "Kebijakan Gunting Syafruddin". Ini terjadi pada jamannya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), pada masa kekosongan di republik ini karena Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan ke Jogjakarta. Pada tahun-tahun ini, uang yang beredar banyak sekali, ada uang NICA (Netherland Indies Civil Administration), uang ORI (Oeang Republik Indonesia), uang ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah), karena pada jaman itu sulitnya distribusi uang ke daerah-daerah, maka daerahpun diperbolehkan untuk mencetak dan mengedarkan uang sendiri, walaupun untuk wilayah terbatas. Trus masih ada lagi Uang Pemerintahan Dai Nippon. Nah pada masa ini, terjadi inflasi yang sangat tinggi, maka diambillah kebijakan untuk menggunting uang yang bernilai 5 gulden ke atas oleh Syafruddin Prawiranegara.
Wah, seru, seru, abis itu dengerin penjelasan dari Team Pemandu Museum Bank Indonesia, kita ngobrol-ngobrol tentang seperti apa sih yang kalian inginkan kalau berkunjung ke museum, wah sebenernya topik ini sudah kita bahas beberapa waktu lalu, tapi cuma di milis sahabatmuseum@yahoogroups.com.
Kelar ngobrol, kita ke arah luar belakang gedung museum ini guna menyiapkan diri untuk berbuka puasa bersama.
Kebetulan letak mesjid ini persis di sebelahnya pondasi Tembok Kota Batavia yg sedang digali oleh para arkeolog. Hmmm, pondasi ujung selatan Tembok Kota Batavia ini kalo saya duga, deket-deket sama sebuah pintu yang kini kita mengenalnya sebagai kawasan Pintu Kecil, karena doeloe terdapat sebuah pintu untuk masuk ke dalem kota yang telah dibentengi setelah kerusuhan sosial di tahun 1740. Nah, nama gerbang (pintu) ini adalah Gerbang Diest.
Gerbang Diest (Diestpoort), dibangun pada tahun 1657, nama ini diambil dari rumah gardu Dietz (nama seorang bangsawan Nassau, yah ejaannya Dietz, bukan Diest...) yang terletak di sebelah timur sungai. Karena pintunya kecil, Diestpoort ini belakangan dikenal: Pintu Kecil. Doeloe, sebagai jalan masuk dan juga keluar kastil (tembok), disediakan empat pintu gerbang. Pada abad ke-17, jalan utama dari kastil ke wilayah pendalaman (ommelanden) hanya melalui timur laut, yaitu di depan Gereja Portugis Luar Kota (atau bahasa belandanya nih... Portugeesche Buiten Kerk), nah, itu sekarang adalah Gereja Sion! yang terletak di Jl. Pangeran Jayakarta. Oke kembali ke cerita tentang Tembok Kota Batavia, karena doeloe hanya ada 1 pintu gerbang, kemudian dibuatkanlah beberapa gerbang di sekitar tembok ini, itu adalah: Rotterdam-poort yang ada terletak di bagian timur tembok (di sebelah kanannya Stasiun Jakarta Kota? yang mojok ke sungai?), di sebelah selatan ada Nieuw-poort. Dari gerbang selatan inilah muncul istilah Pintu Besar. Dan ada tahun 1652 dibangunlah pintu gerbang yang diberi nama: Utrechtschepoort, kerna doeloe ada jalan Utrechtstraat (sekarang bernama Jl.Kopi kayaknya), posisi pintu ini mengarah Barat, ke Kali Besar. Waduh... kalo ngomongin Tembok Kota Batavia, kayaknya belom lengkap kalo blom ngobrol sama ahlinya. Pak Mundardjito, atau panggilan akrabnya Pak Otti, Guru Besar Arkeologi UI, bergabung sama kita dan ngobrolin selengkap-lengkapnya tentang Tembok Kota Batavia.
Sampe di sini, kudunya penceritaan diambil alih sama Pak Otty. Tapi berhubung gak bisa diceritain pake kata-kata, harus liat sendiri slide shownya dan dengar sendiri pembahasan sejarahnya, maka cerita harus kita akhiri di sini. Beruntunglah gue sempet ngikut.
Gak sabar nunggu plesiran berikoetnja!
...
Minggu lalu, PTD bareng BatMus ke bekas De Javasche Bank, alias Museum BI sekarang. I had such a blast.
Batere kamera sempet abis, cari-cari yang jual batere di pelataran depan gak ada. Akhirnya, "Pak! Anter ke Indomaret terdekat ya, mau beli batere!" Deeeenggg....gowes, gowes, naiklah gue dengan tingginya di belakang bapak tua ojeg sepeda, yang mengayuh sepeda jengkinya dengan riang gembira. Oemar Bakrie, Oemar Bakrie...
Angin sore lembut membelai jidat dan kerudung. What a beautiful afternoon! Di kiri-kanan Jl. Kali Besar, beberapa kelompok ABG dan dewasa dengan penampilan funky lagi pada berfoto ria, memanfaatkan indahnya kota tua yang baru direvitalisasi oleh pemerintah daerah. Sutiyoso yang jelek dan bau, kalo lagi gini, gue cinta elo dah! Bangunan Belanda, trotoar, jembatan... Adinda serasa lagi main film Doea Tanda Mata, meneer!
Tentang museumnya sendiri, biarkan Adep yang cerita. Dan foto-foto.
In a nutshell, pengalaman kencan pertama dengan BatMus, amatlah sangat berkesan. And I'm craving for more!
Poto-poto:
Kalu gak salah, ini artinya "Ruang Kas dan Penukaran".
Kalo yang ini "Ruang Saham".
Jangan ngaku dosa di sini ya, hihihi... Sebab ini bukanlah bilik pengakuan dosa, walaupun bisa juga sih ngaku dosa di sini, huahaha...
Ini adalah bilik-bilik tempat melayani nasabah jaman doeloe kala. Para bankirnya ada di balik teralis. Nyaman bener yak, mau leyeh-leyeh juga bisa tuh di dalem.
Kaca patri dan atap tinggi lengkung yang Belanda banget. Jadi inget langit-langit kelas gue di SMA 3 dulu, yang mempertahankan arsitektur bangunan belandanya. Langit-langitnya juga lengkung-lengkung.
Masuk ruang Numismatik, atau bahasa perancisnya "ruang deduitan", kayak masuk lemari besi. Liat pintunya!
Banyaaaak duit kuno lain yang super duper menarik, fascinating, dengan sejarah panjang yang mengikutinya. Doeit-doeit kerajaan-kerajaan nusantara di masa lalu yang membuat rahang gue jatuh serendah-rendahnya, sehingga gak mampu lagi ngejepret foto, sibuk mungutin rahang yang jatoh melulu. But I managed to shoot doeit perkebunan Cimahi, 1 sen, terbuat dari kayu, dan doeit perkebunan Tanah Radja di Asahan, logam 1 dollar. Yea, ternyata kitaorang ada yang sempet bermata uang dollar, coooyy! Jaman dulu tiap perkebunan punya mata uang sendiri. Jadi pengen juga bikin mata uang, berlaku di er-te gue doank. Seru gak tuh, hihihi..
Ini duit sengaja pada digunting jadi dua pada jaman pemerintahan Pemerintah Darurat RI. Satu sisi berfungsi sebagai duit biasa, satu sisi lagi berfungsi sebagai surat obligasi pemerintah. Yaaah, namanya juga darurat.
Surat obligasi itu diberlakukan dengan bunga tertentu, tapi baru boleh diuangkan 40 tahun kemudian. Hihihi..
Jadi kalo ketemu duit kuno yang cuma sebelah kayak gini, punya nenek kita jaman dulu, bukannya si nenek lagi bete terus ngerobek-robek duit. Tapi barangkali itu obligasi jaman doeloe kala yang nilai historisnya melebihi nilai nominalnya.
Itu adalah tangan. Dan di belakangnya adalah uang Kampua. Yaitu uang Kerajaan Buton jaman doeloe, yang terbuat dari kain tenun. Jadi ukurannya kira-kira selebar telapak tangan gue *Maklum CSI gak kesampean*
Di lorong gelap menuju ruang teater, ada dinding di mana terdapat 'duit-duit logam' berterbangan ke sana kemari. Kalo kita berhasil 'menangkap' salah satu duit itu, keluarlah penjelasan mengenai duit tersebut. Permainan cahaya dan sensor. Cool, huh?
Ini adalah peta nusantara jamannya pelaut masih tebak-tebak buah manggis kayak apa bentuk nusantara. Pusing doi, pulaunya banyak banget. Hihihi.. emang enak nemuin kita?
Liat deh bentuk pulau Sulawesi. Huahaha...
Ini memang gambar yang paling gak menarik. But actually, this is the best part! You know, justru bagian-bagian yang paling menarik adalah bagian yang gak sempet ketangkep kamera, karena fotografernya betul-betul terkesima sampe gak sempet ngejepret!
Ya! Ini adalah ketika Guru Besar Arkeologi UI, pak Otti, dan bapak satu lagi *lupa namanya* yang juga ahli sejarah dan rekonstruksi, menjelaskan sedetil-detilnya mengenai situs De Javasche Bank, lengkap dengan konteks yang mengelilinginya. Peta-peta dan denah bersejarah digelar. Tiap sketsa dan footage dibahas dan dibandingkan dengan kondisi aktual. Plus bercerita detil tentang penggalian yang sedang blio lakukan di sekitar Museum BI, yang mana daripada adalah merupakan bekas tembok kota Batavia. Sebagai CSI-wanna-be, this really fascinated me. Ow, my, God.
"Menemukan pisau di tanah, dengan menemukan pisau di dapur, akan beda artinya. Ketika saya menemukan sebuah artefak, saya harus gali sekelilingnya untuk mengetahui cerita di balik artefak tersebut. It's all about context."
Pak Otti, sang arkeolog, bercerita mengenai bagaimana sebuah tim arkeolog bekerja *Oh, Agatha Christie!* I just can sit there all night listening to them.
Ok deh, Dep. Nyembah deh gue.
Adep bercerita:
De Javasche Bank, yang kini sudah berubah menjadi Bank Indonesia, memiliki kisah perjalanan yang panjang. Gedung museum yang sekarang bercokol di Jakarta Kota pun, telah berubah fungsi menjadi Museum Bank Indonesia. Mari kenali riwayatnya.
Pada djeman dahoeloe kala, di locatie ini gedong dimangpa'atken sebagi ziekenhuis (ziek = sakit, huis = rumah; makanya sekarang kita mengenal istilah: Rumah Sakit). Dengen seboetan jang bekend pada itoe tempo: Binnen Hospitaal. Ini gedong kali pertama digoenaken oleh De Javasche Bank pada tanggal 8 April 1828. Kamodian pada tahon 1910 sasoedahnja menempati gedong toea bekas ziekenhuis, lantas De Javasche Bank bikin rentjana pembangoenan jang dikerdjakennja oleh Bereau Architect “Ed. Cuypers & Hulswit” sebanjak lima tahap, ia itoe: 1910, 1922 en 1924, 1933, jang paling achir 1935, hingga gedongnja nampak tjiamik sekarang.
Yah! Gedong ini sekarang menjadi Museum Bank Indonesia. Sebuah museum yang modern, canggih dan nyenengin. Gimana enggak? baru masuk di bagian depan aja udah kerasa atmosfir jadulnya, blom lagi pas belok kanan, dengan penjelasan yang okeh punya, lagi bisa dibaca tulisannya dengan sangat jelas, udah gitu pas masuk ke arah Ruang Teater, kita bisa menangkap uang logam yang melayang di tembok (duh gimana bisa sih? nah mendingan lu buktiin aja dah!), begitu uang logamnya ketangkep, maka dia akan memberikan penjelasan (nah makin bingung deh cerita gue ini!), pokoknya nih museum keren dah, beneran kayak di luar negeri! hehehe..
Udah gitu abis nonton pelem tentang sejarah gedung ini, kita bisa melihat banyak sekali koleksi di museum ini, termasuk Peta Kepulauan Nusantara di djaman doeloe tatkala para pelaut asing masih mengira-ngira gimana bentuk pulaunya, yah gituu deh peta tahun jebot yang masih amburadul gambarnya, tapi keren euy, sumpah!
Jalan sedikit agak ke dalem, kita masuk ke Ruang Numismatik. Memahami sekaligus mengenal uang-uang yang beredar di Nusantara selama ini, dari jaman kerajaaan, VOC, Hindia-Belanda, pendudukan Jepang 1942-1945, hingga jaman kemerdekaan. Udah gitu yang lebih menarik lagi, kitaorang bisa bisa masuk ke ruangan yang lebih keren lagi, menyaksikan uang-uang dari kerajaan yang berkuasa di Nusantara pada jaman dahulu kala, seperti Uang Ma (atau disebut juga Masa) dari beberapa kerajaan seperti: Mataram, Majapahit, Kediri, Samudera Pasai. Uang ini terbuat dari emas atau perak (wwwuuiih asik banget nih kalo punya uang ini di celengan kita. Hah? Celengan? udah pada tau kan celengan tuh adalah tempat menabung berbentuk celeng, trus kalo menabung? yah.. berasal dari kata Tabung. doeloe orang-orang menyimpang duitnya di tabung bambu, mungkin sebelom jaman orang menyimpan duit di bawah bantal :)
Juga ada Uang Gobog dari Kerajaan Majapahit yang berfungsi sebagai Jimat, dan yg dari Kerajaan Banten yang uangnya berfungsi sebagai Jimat Cinta, aduhaaaiiii...
Trus, trus, trus, ada lagi nih uang yang disebut: Uang Kampua, yang berwujud kain tenun, yang dijahit oleh putri-putri Kerajaan Buton pada sekitar abad ke-14. Kain tenun ini setiap tahunnya dibuat dengan motif berbeda, hal ini dilakukan untuk menghindari pemalsuan (duh, jaman dulu aja udah ada pemalsuan) Penggunaaan uang yang berwujud kain tenun ini ada di pada saat perintahan Ratu Bulawambona. Buton sekarang masuk ke dalam Provinsi Sulawesi
Tenggara, eh iya ntar kita juga mau plesiran kesini lho, suwer dah, yah kira-kira 2009 kali ye, karena tahun 2008 nanti kita mau plesiran menelusuri Jalan Raya Pos (De Groote Postweg), Jalan Raya Daendels, yang di tahun 2008 nanti genap berusia 200 tahun (1808 - 2008), berkendara dengan bus AC dari Anjer hingga Panaroekan, dan nginap di Anjer, Bandoeng, Cheribon, Pekalongan, Semarang, Soerabaia dan Panaroekan. *Deeeep, gue ikuuuuuuuuuuttt!!!*
Kemudian ada uang yang bisa melengkung sendiri bila diletakkan di telapak tangan, karena uang ini mengandung fosfor, yang kalo kena suhu panas tubuh, maka uangnya akan melengkung sendiri. Ada lagi uang jaman perkebunan. Pada suatu ketika, setiap perkebunan mempunyai otoritas untuk memproduksi dan mengedarkan uang sendiri, dan sayangnya hanya beredar di wilayah mereka sendiri (waaah gak bisa dipake untuk liburan ke Bali dong!) uangnya bentuknya lucu, ada yang segi tiga, ada yang terbuat dari bahan bambu, tapi kebanyakan terbuat dari logam. Lalu kalo mau merasakan denyut perdagangan rempah-rempah di Nusantara djaman doeloe, Museum BI ini masih ada lho koleksi aselinya, uang yang digunakan oleh orang-orang sejak Portugis datang. Oh ya jaman di masa awal-awalnya orang Portugis datang, uang yang dipakai adalah Real Spanyol, lantas pada jaman Belanda berkuasa, digantiin dengan Rijksdaalder. Nah dari nama mata uang Rijksdaalder, kita mengenal istilah: Dollar, karena ketika jaman itu, orang menyebutnya: daalder, daaldet, makanya orang Amerika akhirnya menyebutnya dollar.
Ingat, Amerika doeloe (terutama Pantai Timur-nya) masih menjadi koloni Belanda, dan ingat doeloe ada perjanjian antara Belanda dan Inggris di tahun 1667, ditandai dengan perjanjian Breda yang menyatakan bahwa Belanda membarter Pulai Run di Banda Neira dengan Pulau Nieuw Amsterdam (Manhattan) yang sekarang ada di New York sana!
Pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816), uang yang berlaku adalah: Picis Jawa (kalo hari ini mengenal "roman picisan," itu karena doeloe banyak dijual karya tulis roman (novel) yang seharga satu picis, sepicis).
Ada lagi uang "Kebijakan Gunting Syafruddin". Ini terjadi pada jamannya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), pada masa kekosongan di republik ini karena Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan ke Jogjakarta. Pada tahun-tahun ini, uang yang beredar banyak sekali, ada uang NICA (Netherland Indies Civil Administration), uang ORI (Oeang Republik Indonesia), uang ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah), karena pada jaman itu sulitnya distribusi uang ke daerah-daerah, maka daerahpun diperbolehkan untuk mencetak dan mengedarkan uang sendiri, walaupun untuk wilayah terbatas. Trus masih ada lagi Uang Pemerintahan Dai Nippon. Nah pada masa ini, terjadi inflasi yang sangat tinggi, maka diambillah kebijakan untuk menggunting uang yang bernilai 5 gulden ke atas oleh Syafruddin Prawiranegara.
Wah, seru, seru, abis itu dengerin penjelasan dari Team Pemandu Museum Bank Indonesia, kita ngobrol-ngobrol tentang seperti apa sih yang kalian inginkan kalau berkunjung ke museum, wah sebenernya topik ini sudah kita bahas beberapa waktu lalu, tapi cuma di milis sahabatmuseum@yahoogroups.com.
Kelar ngobrol, kita ke arah luar belakang gedung museum ini guna menyiapkan diri untuk berbuka puasa bersama.
Kebetulan letak mesjid ini persis di sebelahnya pondasi Tembok Kota Batavia yg sedang digali oleh para arkeolog. Hmmm, pondasi ujung selatan Tembok Kota Batavia ini kalo saya duga, deket-deket sama sebuah pintu yang kini kita mengenalnya sebagai kawasan Pintu Kecil, karena doeloe terdapat sebuah pintu untuk masuk ke dalem kota yang telah dibentengi setelah kerusuhan sosial di tahun 1740. Nah, nama gerbang (pintu) ini adalah Gerbang Diest.
Gerbang Diest (Diestpoort), dibangun pada tahun 1657, nama ini diambil dari rumah gardu Dietz (nama seorang bangsawan Nassau, yah ejaannya Dietz, bukan Diest...) yang terletak di sebelah timur sungai. Karena pintunya kecil, Diestpoort ini belakangan dikenal: Pintu Kecil. Doeloe, sebagai jalan masuk dan juga keluar kastil (tembok), disediakan empat pintu gerbang. Pada abad ke-17, jalan utama dari kastil ke wilayah pendalaman (ommelanden) hanya melalui timur laut, yaitu di depan Gereja Portugis Luar Kota (atau bahasa belandanya nih... Portugeesche Buiten Kerk), nah, itu sekarang adalah Gereja Sion! yang terletak di Jl. Pangeran Jayakarta. Oke kembali ke cerita tentang Tembok Kota Batavia, karena doeloe hanya ada 1 pintu gerbang, kemudian dibuatkanlah beberapa gerbang di sekitar tembok ini, itu adalah: Rotterdam-poort yang ada terletak di bagian timur tembok (di sebelah kanannya Stasiun Jakarta Kota? yang mojok ke sungai?), di sebelah selatan ada Nieuw-poort. Dari gerbang selatan inilah muncul istilah Pintu Besar. Dan ada tahun 1652 dibangunlah pintu gerbang yang diberi nama: Utrechtschepoort, kerna doeloe ada jalan Utrechtstraat (sekarang bernama Jl.Kopi kayaknya), posisi pintu ini mengarah Barat, ke Kali Besar. Waduh... kalo ngomongin Tembok Kota Batavia, kayaknya belom lengkap kalo blom ngobrol sama ahlinya. Pak Mundardjito, atau panggilan akrabnya Pak Otti, Guru Besar Arkeologi UI, bergabung sama kita dan ngobrolin selengkap-lengkapnya tentang Tembok Kota Batavia.
Sampe di sini, kudunya penceritaan diambil alih sama Pak Otty. Tapi berhubung gak bisa diceritain pake kata-kata, harus liat sendiri slide shownya dan dengar sendiri pembahasan sejarahnya, maka cerita harus kita akhiri di sini. Beruntunglah gue sempet ngikut.
Gak sabar nunggu plesiran berikoetnja!
...
musti ikutan lagi yahh...:)))))
ReplyDelete"Kemudian ada uang yang bisa melengkung sendiri bila diletakkan di telapak tangan, karena uang ini mengandung fosfor, yang kalo kena suhu panas tubuh, maka uangnya akan melengkung sendiri."
ReplyDeleteEmang bener say, sepupuku ada yang punya uang kertas RI jadul, pas ditarok di telapak tangan emang terus ngelengkung, dan masing masing orang tuh hasil lengkungan n lamanya si uang jadi melengkung tuh laen laen. Jadi kita bilang, kesuksesan ngelengkungin uang kertas itu bergantung pada kebersihan hati masing masing... huahahahaaaa
waaaah..ternyata mba riana ikutan Batmus (klo dulu aku bilang nya PTD = Plesiran Tempo Doeloe)
ReplyDeletekoq ga bilang2 mbak...kan bisa barengan..makin seru gituuu
Hai RIana, nemu blogmu yang lain ;-))
ReplyDeleteDeg-degan aku baca yang ini. Nanti kalo pulang kampung, ato lagi liburan di kampung, aku harus ikut beginian....