Skip to main content

Latest Post

Hajj Series part 6: Masa Menunggu, Masa Pembersihan Diri

Masjid Abdullah ibn Abbas r.a., Tha'if Pentingnya periode menunggu ini saya sadari belakangan. Tepatnya 1 pekan sebelum saya berangkat masuk asrama haji. There I was, sitting on my sister's dining table, working on proofreading for NCC's next recipe book. The thought suddenly struck my head. Enam tahun lalu, saya mendaftar haji dalam keadaan pakai jeans ketat dan jilbab lilit-lilit. Hari ini, saya akan berangkat haji dalam keadaan bergamis gelap longgar dan berniqab. Dalam masa enam tahun ini, tanpa terencana, saya mulai mendatangi majelis ilmu. Lalu bertekun di dalamnya. Saya mendapati diri sangat bersemangat mencari ilmu agama dan sangat bahagia di dalamnya. Terkadang pergi sendirian, tidak peduli tidak punya teman. Saya datang ke tadabbur selasa pagi AQL di masjid Pondok Indah dalam keadaan saya seperti itu: jeans ketat, jilbab lilit-lilit. Ketika saya ingat lagi sekarang, betapa saya baru menyadari kebaikan hati para pencari ilmu di majelis itu. Mereka tidak memandang s

Ihwal Sepotong Kain (1)

Untuk pertama kalinya merasakan nikmatnya berihklas. Bukan ikhlas yang otomatis. Yang ini lain. Yang ini tidak otomatis. Tapi jauh lebih melegakan.

Untuk pertama kalinya naik angkot terasa nikmat. Peluh bercucuran terasa bermanfaat.

Seorang teman bertanya, kenapa hal ihwal sepotong kain ini gak di-share di blog. Seorang teman yang lain sangat ingin tahu bagaimana prosesnya. Kakak saya sendiri berkomentar cukup mengejutkan,"Are you dying or something?"

Lucu sekali kakak saya ini. Semakin saya jadi diri sendiri, semakin saya mengerti bahwa ia tidak mengenal saya. Subhanallah. Betapa banyak wajah pada setiap hal kecil di alam semesta ini. Tiap-tiap manusia hanya melihat sedikit hal saja, dari sebuah benda yang sama.

Saya sendiri tidak punya kata-kata untuk menjelaskan. Bagaimana saya harus menjelaskan? Bahwa saya adalah daging yang penuh dosa? Yang akan meninggal dengan segera? Bahwa saya hanya ingin berkumpul kembali dengan kedua orangtua, suami dan handai taulan, kelak di surga? Menggurui sekali. Saya tidak enakan.

Seorang teman bertemu saya untuk mendapatkan pencerahan. Pencerahan apa yang bisa saya berikan? Saya tidak punya petuah bijak dan pemahaman yang dalam untuk dibagi. Saya hanya tau saya penuh dosa. Pada orangtua, pada suami, pada saudara, pada orang-orang yang kenal saya. Dan cuma bisa sesunggukan menyesal (dengan tololnya) tiap ingat itu semua. Bahkan penyesalan itupun belum sanggup menggerakkan jiwa kerdil saya untuk mendatangi mereka satu persatu untuk minta maaf.

Secarik kain ini memang bagaikan naungan. Tidak hanya melindungi kepala saya, juga sontak meneduhi hati saya. Namun apa yang bisa saya jelaskan?

Comments

Popular Posts