Previous Chapter:
Batu Bacan dari Bapak Ibu Penjual Bahan Bakar
Kami menemukan satu pulau kosong dengan garis pantai sangat indah dan laut bening turkois mengelilinginya. Beberapa bagian pantainya memiliki daratan pasir sempit memanjang yang tersambung dengan pulau-pulau sebelah-menyebelah dengannya. Saya gak mau kasih tau nama pulaunya, ahaha. Pulau ini kami dapatkan informasinya dari nelayan. Di peta cuma ada nama kepulauannya tapi gak sampai detail ke pulau-pulau kecilnya.
Turun dari kapal, crew mulai memasak dan saya dan Melissa mulai trekking pulau ke arah kiri, karena saya lihat pantai yang bersambung ke pulau sebelah berada di sisi kiri pulau. Biasanya teman-teman yang turun belakangan akan mengikuti siapa saja yang turun duluan dan memulai trekking.
Ketika saya dan Melissa sudah mulai jauh, saya cek ke belakang, lah, kok di belakang kami gak ada siapa-siapa, hahahaha. Halaaah, pada kemana teman-teman lain? Obviously, either mereka leyeh-leyeh di tempat kita mendarat menunggu makan siang selesai dimasak crew kapal, atau mereka trekking pulau ke arah kanan. Ini di luar kebiasaan.
Saya memutuskan gak ngelanjutin jalan lebih jauh. Kami balik badan menyusul mengikuti arah mereka pergi, sambil asik foto-foto dan cibang-cibung menikmati laut dangkal bening yang serasa milik pribadi. Di bagian pantai inilah kami bertemu pantai berpasir merah jambu. Heyyy, ternyata gak cuma ada di Labuan Bajo! Subhanallah!
Hari semakin siang dan teman-teman lain tidak juga terlihat punggungnya. Tidak berhasil menyusul mereka dan perut sudah sangat keroncongan, kami kembali ke tempat kapal ditambatkan. Makan siang sudah siap. Saya dan Melissa makan bareng-bareng awak kapal dan Mas Arya yang memang gak ikutan trekking sambil menunggu teman-teman lain kembali.
Etapi mereka gak balik-balik. Tunggu punya tunggu, sudah sekian jam lewat. Sementara kita sudah harus mulai bersiap melaut lagi kalau tidak mau kemalaman tiba di Wayag, pintu gerbang kedua Taman Nasional Raja Ampat.
Waduh, serius nih. Kami mulai berdiskusi menganalisa berbagai kemungkinan.
Jam makan siang sudah jauh terlewat. Mereka pasti kelaparan dan sewajarnya segera kembali untuk makan. Kenapa mereka belum kembali?
Apakah mereka terhalang bahaya? Ada sesuatu yang menimpa mereka?
Ketika menyadari keanehan ini, kami mulai menganalisa perbekalan mereka dan kemungkinan lain.
Mereka bawa minum gak?
Hanya satu orang yang bawa air, yaitu Indi, hanya 1 botol. Sementara mereka berenam.
Ada kemungkinan mereka masuk hutan gak?
Selama mereka stay berjalan di garis pantai, insyaAllah gak akan tersesat. Tapi kalau mereka masuk hutan, itu cerita lain. Pulau ini hutannya kelihatan sekali belum terjamah manusia. Pohon-pohonnya sangat rapat, belum ada jalan setapak sama sekali yang berarti belum pernah ada orang lewat di situ. Kemungkinan tersesat menjadi ada.
Mengenal Soni dan Idar cukup baik, saya bilang ke Mas Arya bahwa kemungkinan mereka masuk hutan itu sangat mungkin. Kami pun mulai menganalisa penyebab mereka belum kembali, lalu memutuskan untuk mengambil kemungkinan terburuk, yaitu:
- mereka dehidrasi sehingga kehabisan tenaga untuk kembali karena sudah sangat jauh berjalan; atau
- tersesat di hutan dan juga mengalami dehidrasi dan kelelahan sebelum bisa mencapai base camp titik awal pendaratan.
Ya sih, bisa aja mereka saat ini lagi main dampu di bagian lain pulau ini sambil nangkepin ubur-ubur. Tapi karena tidak ada argumen lain yang bisa mematahkan teori perut lapar dan kerongkongan yang kehausan, kemungkinan terburuk ini harus kami ambil.
Menyadari bahaya yang mungkin mengancam nyawa mereka, kami putuskan untuk mencari mereka melalui laut, menyusuri garis pantai dengan menggunakan kapal. Sounds simple. Tapi ternyata.. ada masalah lain menghadang. Dan ini tidak pernah terpikir sebelumnya.
To be continued
Next Episode:
Drama Penyelamatan di Pulau Terpencil (Bag. 2)
Comments
Post a Comment