Batu Bacan dari Bapak dan Ibu Penjual Bahan Bakar

Babang, Bacan Island 2

Previous Chapter:

Kami singgah di Pulau Bacan untuk mengisi bahan bakar. Sampai di pelabuhan Babang yang lumayan ramai, lalu jalan kaki melihat-lihat desa (ada yang mau lihat monyet berbentuk aneh yang katanya banyak di hutan Bacan, hihihi..). Jalanan basah di bawah rerintikan hujan. Rerimbunan pohon dan semak hijau di kiri-kanan, dikungkungi perbukitan dan pengunungan di kejauhan. We're in the middle of nowhere, love it.

Monyetnya sih gak ketemu, kayaknya sama deh dengan yang kita temui di Ternate. So, considered we met them already, haha. Iya aneh memang bentuknya, bulu di kepalanya kayak troll. Hewan endemik di Maluku sepertinya. Sebenernya saya ada motret, tapi low light banget dan si monyet jadinya serem, huhu.

Babang, Bacan Island 1

Lumayan jauh kita jalan sampai akhirnya memutuskan balik untuk sholat dan mandi. Sepasang suami istri berhati mulia yang mengetahui kedatangan kami di pelabuhan menawarkan untuk mandi dan sholat di rumahnya. Selalu mau nangis tiap ingat orang-orang baik yang kami jumpai sepanjang perjalanan. Semoga Allah balas kebaikan mereka berkali lipat, aamiin.

Bapak ini adalah penjual bahan bakar. Pastinya dia yang paling tahu siapa yang datang dan pergi di pelabuhan. Setelah mandi, saya, Idar dan Sony ngobrol dengan beliau berdua di ruang tamunya yang nyaman. Disuguhi teh hangat dan nyamikan, ya Allah, swargaloka. Alhamdulillah.

Perbincangan jadi super duper menarik ketika si Bapak cerita tentang keprihatinannya akan anak-anak muda setempat yang akhir-akhir ini menjadi malas bekerja karena sesuatu hal.

"Tahun ini, sudah 2 kali ada orang-orang Jepang datang. Mereka tanya-tanya soal batu Bacan dan beli batu Bacan dari penduduk. Sebongkah batu Bacan kira-kira sebesar ini (kedua telapak tangannya mengisyaratkan ukuran bongkah batu) mereka bayar 50 juta rupiah! Anak-anak muda itu jadi malas kerja. Mereka cuma menunggu orang-orang Jepang itu datang lagi untuk beli batu Bacan lagi."

We were like wow, what is this??? Ini pertama kalinya kita denger tentang batu Bacan dan perburuannya! Serasa hidup kembali nih cerita perburuan rempah jaman dahulu kala! Dan ini looong before bebatuan cincin ngetren dan meredup lagi sekarang, haha.

Terus donk kita jadi pumped up nanya-nanya segala macem, diawali dengan, "Batu Bacan itu apa, Pak?"

Well, buat kamu yang gak ngikutin trend bebatuan beberapa tahun lalu (why should you? :D), Batu Bacan adalah batu alam yang ada di Pulau Bacan. Jadi kalau orang-orang Bacan ini korek-korek dikit tanah di sekitar mereka, dapet deh tuh bebatuan Bacan berwarna hijau dan bermotif indah. Saya juga taunya baru saat itu.

Kan kita penasaran donk kenapa orang-orang Jepang itu mau bayarin batu alam ini sedemikian mahal. Gak cuma itu. The fact bahwa mereka sampai explore ke desa kecil ini sungguh berarti long research, so much time and money spent just to fetch the stone, right? Why, why, waaaayyy?

Sayangnya, si Bapak yang baik hati ini gak bisa ngasih jawaban yang memuaskan perihal kenapa-napanya. Kebayang deh komunikasi sama orang Jepang asli. Bisa pakai Bahasa Tarzan aja udah sukur, ya kan. Tapi kan ya, now that I'm thinking, seharusnya anak-anak muda itu menyelidiki, sukur-sukur meneliti, gerangan kenapa putera-puteri negara matabari terbit yang terkenal akan kecanggihan teknologi dan robot-robotnya itu sedemikian tertarik kepada batu ini. Dan bukannya malah nungguin kedatangannya lagi hanya untuk segepok fast money yang sebentar habis. 

Atau mungkin sudah ada kali ya penelitiannya dan saya aja yang kurang piknik. 

Keseruan sore itu harus kami akhiri karena tau diri, ahahaha. Ketika pamitan, si Ibu memberi saya sepotong Batu Bacan untuk kenang-kenangan. Ya Allah, Alhamdulillah, saya senang sekali! Bukan karena batunya, tapi makna pemberiannya yang buat saya melebihi sekedar souvenir atau oleh-oleh. For me it means good hearts, sincerity, acceptance dan doa agar kelak bertemu kembali. Iya loh sedalem itu saya berasanya. You have to be in the middle of nowhere far far from home with no connection to technology and no proper means to survive (like a boat with no lamps!) in the middle of open sea, to embrace that.

Malam itu, kami menginap di Pos Polair Pulau Bacan, persis di depan dermaga Babang. Sayangnya kok gak ketemu sama any police ya? Hm. We rolled out our sleeping bags and slept on the wooden porch, so we can see the sky and the moon and practically slept under the stars, like we always love! Alhamdulillah 💙

Bacan 42

Next Episode:

Comments