An Unforgettable Evening (Bag. 1: Nasihat Pak Haji)
Meski hati masih tak hendak meninggalkan wayag, siang itu perjalanan harus segera dilanjutkan. Pak kapten kapal luka di kaki, harus segera dibawa ke rumah sakit di Waisai, ibukota kabupaten Raja Ampat di pulau Waigeo.
Di tengah pelayaran, kami singgah di sebuah desa bernama Selpele untuk kembali mengisi bahan bakar. Ada seorang pak haji di desa itu, di mana kami menumpang sholat di rumahnya. Selagi menunggu bahan bakar diisi, sebuah kapal motor yang bagus dan canggih berlabuh, rupanya seorang pejabat daerah yang sedang inspeksi. Beliau ngobrol dengan mas Arya, dan cukup terkejut mengetahui bahwa kami mengarungi laut dari Ternate hanya dengan perahu motor sederhana tanpa lampu.
Tiba saatnya melanjutkan perjalanan. Dan ini mungkin adalah salah satu detik-detik yang akan saya ingat sepanjang usia dan saya jadikan pelajaran sangat penting dalam hidup yang singkat ini.
Kami semua sudah naik ke kapal. Semua yang di dermaga melepas kami pergi, termasuk Pak Haji yang solih. Di tangannya terlihat tasbih, dan jarinya bergerak menghitung bulirnya. Pastilah lisannya basah oleh dzikir.
Ketika perahu motor bergerak menjauhi dermaga, kami semua melambaikan tangan dan mengucapkan salam pamit. Tiba-tiba Pak Haji berteriak, "Jangan lupa dzikir!"
Little did we know, it turned out to be the most important nasihah for us.
Sore itu, diproyeksikan kami sudah akan memasuki Selat Kabui, sebuah celah sempit berlaut dangkal antara Pulau Gam dan Pulau Waigeo, yang menjadi gerbang ke Waisai. Kapten Kapal kami adalah nakhoda yang cermat, sangat mahir memperkirakan jarak dan waktu tempuh. Sejauh ini, perkiraan dan panduan beliau tidak ada yang meleset.
Namun manusia tidak akan pernah bisa melawan skenario Allah. Ketika Allah memutuskan memberimu pelajaran dan menaklukkan semua egomu, matamu sendiri akan mengelabuimu, keterampilanmu tak berguna, perencanaanmu tinggal wacana.
Saya mulai menyadari ada sesuatu yang aneh ketika matahari semakin hilang tapi tidak ada setitikpun tanda-tanda daratan. Rupanya ini disadari juga oleh seisi kapal dan mulai bertanya kepada Pak Kapten dan mas Arya. Dengan segera kami menyadari, somehow, kami telah salah arah, dan saat ini ada di tengah laut, menjelang malam, di dalam kapal kecil tak berlampu, tak ada setitikpun daratan terlihat.
Sepuluh menit, lima belas menit, setengah jam. Hari semakin gelap. Kapal terus melaju, Pak Kapten dan Mas Arya berusaha mencari arah. Tapi hari semakin gelap. Tidak ada daratan. Setengah jam menjadi satu jam. Kekhawatiran berubah menjadi ketakutan.
Seisi kapal hening, gelisah, ketakutan, sebagian mondar-mandir tidak jelas. Semua berusaha melihat ke kejauhan, berharap ada gundukan daratan. Tidak ada.
Ketika maghrib benar-benar turun, 2 awak kapal mulai broke down.
"Mati kita! Mati kita!"
Saya berharap bisa menyumpal mulutnya dengan tambang kapal!
Saya tidak ingat berapa menit atau jam berlalu, saya tidak ingat dzikir apa saja yang terlafazh tanpa henti. Namun saya ingat menatap langit maghrib menuju 'isya yang biru pekat, belum hitam, dan berpikir, "Yaa Allah, sungguh menakjubkan Engkau tidak jadikan ia hitam pekat seketika, betapa lamanya langit itu dalam keadaan setengah tercahayai, seperti lampu remang-remang yang tertinggal cahayanya menerangi jalan yang hitam pekat. Sungguh Engkau menolong kami, sungguh engkau tidak melepaskan kami dari pengawasanMu."
Allahu akbar, lama sekali langit itu tidak menjadi hitam!
Akhirnya, langit pun hitam tanpa sisa. Belum ada tanda-tanda kehidupan. Awak kapal kian meracau, mengoceh menjatuhkan mental seisi kapal.
Saya merasakannya sebagai malam terpanjang.
Tiba-tiba ada secercah cahaya sangat kecil di kejauhan. Lalu secercah lagi. Dua titik cahaya. Sangat kecil.
Cahaya itu belum tentu daratan, belum tentu kapal, belum tentu manusia. Masih ada kemungkinan keramba ikan nelayan yang tidak ditunggui. Kami tidak bisa mengambil resiko salah pilih, karena bahan bakar terbatas. Dari kecil titiknya, bisa diperkirakan jaraknya sangat jauh.
Kapal dikurangi lajunya, hanya agar bisa stabil di atas laut. Dengan senter yang tidak terlalu besar, kami memberi isyarat cahaya. Berharap pendarnya sanggup menempuh gelapnya malam yang kini sudah benar-benar turun. Berjuta doa dan dzikir. Yaa Allah, hanya milikMu cahaya dan udara, mereka tentara-tentaraMu, berada di bawah komandoMu, di bawah keputusanMu: apakah Engkau ijinkan mereka sampaikan cahaya lemah ini ke kejauhan.
Entah berapa lama kami menunggu, ketika salah satu titik cahaya mengedip membalas. Lalu mengedip lagi. Kami balas lagi dengan kedipan cahaya. Lalu cahaya itu membalas lagi.
Alhamdulillah, Yaa Rabb.
Tidak menunggu lama, kapten kapal mengarahkan kapal ke titik itu. Mas Arya dan awak kapal bergantian menjaga isyarat cahaya tetap saling berbalasan.
Kami, manusia, berpikir bahaya ini selesai. Tinggal tunggu sampai, happy ending. Kami salah besar.
Ini, bukanlah yang terburuk. Bahaya lebih besar menanti kami, justru ketika kami sudah sedemikian dekat dengan pertolongan manusia.
Ketahuilah, pertolongan manusia tak ada gunanya. Jika Allah tidak takdirkan, tidak tetapkan pertolongan itu sampai, tidak akan sampai, meski hanya beberapa ratus meter di depan.
To Be Continued
Comments
Post a Comment