Mas Arya menyewa kapal ini dengan awak kapalnya, dengan perjanjian bahwa kapal akan diberi perlengkapan tambahan berupa lampu yang memadai untuk perjalanan di malam hari, lengkap dengan generatornya. Di subuh hari sesaat sebelum berangkat, kami baru mengetahui bahwa segala sesuatunya jauh dari siap, bahkan ijin syahbandar pun belum diperoleh. Yang paling vital, generator ternyata rusak, tidak bisa menyala sama sekali, meaning: no lamps. Hari mulai siang ketika akhirnya diputuskan tetap berangkat setelah --akhirnya-- ijin syahbandar keluar. Generator tidak dapat gantinya. Maka itinerary harus dimodif total: karena kapal tidak berlampu, kami hanya bisa berlayar pagi hingga sore.
Yang berarti:
- Waktu perjalanan menjadi lebih terbatas dan tidak boleh meleset, considering telat sedikit saja kita sudah tidak bisa melihat apa-apa di tengah laut.
- Selepas subuh sesegera mungkin sudah harus melaut, agar bisa memanfaatkan waktu yang terbatas ini dengan optimal. Ketika hari mulai gelap harus sudah sandar, di manapun itu. Hopefuly, sudah menemukan daratan untuk sandar.
- Tidak akan bisa eksplor daratan karena waktu pagi hingga sore digunakan untuk bergerak, kecuali diputuskan mengambil hari-hari tertentu untuk explore daratan only. Berbeda terbalik dengan rencana sebelumnya: bergerak di malam dari, explore daratan di siang hari.
- Akan banyak waktu terbuang di malam hari tanpa pergerakan dan aktivitas selain tidur.
Later on kami menyadari bahwa masalahnya ternyata tidak hanya itu. Tapi ada yang lebih crucial lagi. Dan kami mengetahui ini justru di saat genting: harus segera mencari teman-teman yang belum kembali.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan terburuk, diputuskan untuk segera menyusuri sekeliling pulau menggunakan kapal untuk mencari dan menjemput mereka. Mas Arya segera memberitahu keputusan ini kepada kapten kapal dan 2 awak kapalnya. Dan ternyata: mereka menolak. Kapten kapal tidak masalah, orangnya sangat baik dan menyenangkan. Tapi awak kapalnya, subhanallah. Jangan tanya kenapa atau kok bisa. Sumpah, saya juga gak tau kenapa mereka gak mau bantu.
Kami shocked. Berkali-kali Mas Arya jelaskan kepada mereka bahwa ini masalah nyawa. Mereka menolak dengan alasan bahan bakar menipis, tidak akan cukup untuk sampai ke Wayag kalau dipakai untuk keliling pulau. Ini alasan dibuat-buat banget. Kita selalu bisa cari pulau untuk isi bahan bakar lagi sebelum sampai Wayag. Kapten Kapal sangat paham dan hafal kepulauan di sekitar sini dan beliau setuju untuk mencari teman-teman menggunakan kapal. Obviously, mereka berdua itu, yang ngasih kita generator rusak dan gak ngurus ijin syahbandar itu, menganggap gak ada bahaya sama sekali dan mereka hanya malas untuk bergerak setelah makan siang yang mengenyangkan. Udah saya gak mau bahas apa yang mereka pikirkan, bikin frustrasi.
Akhirnya diputuskan 2 awak kapal ini gak usah ikut. Kapten kapal nyetir boat, Mas Arya, saya dan Melissa yang akan bantu lepas jangkar, angkat jangkar, aba-aba, dll. After all, kita toh gak akan ke tengah laut, hanya keliling dekat garis pantai. Tapi sikap membangkang 2 awak kapal ini membuat kami shocked. Artinya mereka tidak peduli apakah orang lain lapar atau tidak, sekarat atau selamat, mati atau hidup! Ternyata bahaya terbesar bukanlah datang dari alam seperti yang sering ditakutkan. Tapi dari.. manusia sendiri! Man, what a huge lesson!
Kamu mungkin menganggap ini masalah sepele. Tapi kalau kamu ada di tengah samudera lepas, jauh dari keamanan (apalagi kasurmu yang nyaman), kamu akan paham bahwa ini masalah sangat besar. Terisolasi bersama seseorang yang memberimu kesulitan di tengah ancaman alam dan keterbatasan, bisa berarti menandatangani surat kematianmu sendiri. Ini yang terjadi di medan perang yang membuat pengkhianat perang dihukumi eksekusi di tempat dan lari dari medan perang dihukumi dosa sangat besar dalam agama Islam.
Dan kekhawatiran kami terbukti keesokan harinya, ketika rencana Allah mengungguli rencana manusia. Itu nanti cerita berikutnya.
Melompat ke kapal, jangkar diangkat, kapal mulai menyusuri garis pantai. Melewati pantai merah jambu yang tadi saya dan Melissa temukan. Semakin jauh kami menyusuri garis pantai, terus, terus... ternyata pulau ini besar juga! Lama kelamaan pantai semakin berbatu tajam, sehingga kapal harus semakin menjauh dan makin menjauh dari garis pantai. Radius semakin melebar, garis tempuh kapal semakin panjang, pulau terlihat makin mengecil. Sampai akhirnya kami melihat mereka!
To be continued
Comments
Post a Comment