Hajj Series Part 11: In the Holy Land - Miniature of Judgement Day
Selama di tanah suci, saya menulis di traveler's note dan di iOS note di HP. Maka periode di tanah suci ini akan terbagi beberapa bagian di blog ini. Saya gak nulis sesuai kronologis, tapi mencatat apa yang terbit di pikiran, pelajaran yang didapat, dll. Random. Semoga bermanfaat.
Tasting a Drop of the Hereafter
Ketika Allah SWT memperlihatkan bayangan proses hari pengadilan melalui pengalaman nyata di tanah suci, di sinilah manusia mencicipi setetes rasa akhirat.
Ketika tubuh terendam dalam keringat sendiri di tengah lautan manusia, sebuah miniatur Padang Mahsyar. The scorching heat that feels like it's peeling away layers of not just skin, but ego. Berjalan kaki dari perbatasan Arafah menuju Muzdalifah, melalui cekungan sungai yang kering. Kaki-kaki tenggelam dalam pasir, sulit melangkah meski beban tas sudah diminimalkan. Bergabung dengan jutaan jamaah haji dari berbagai bangsa, semua bersahut-sahutan dalam talbiyah dalam berbagai dialek! Extreme crowds moving like waves. When you realize you are but a speck in the vastness of humanity. Tak ada status, tak ada privilege, hanya jiwa-jiwa bergerak menyatakan ketaatannya, mengikuti apa maunya Sang Pencipta.
The Difficult Uphill Journey
Di Mina, naik turun bukit dengan bawaan yang terasa semakin berat. The perfect metaphor for our journey through life. Like our own sins, becoming tangible weights on our journey. Setiap langkah mendaki mengingatkan pada Surah Al-Balad: "...jalan yang mendaki lagi sukar." Tadabbur menjadi nyata ketika kaki mulai lelah, ketika nafas terengah-engah.
"'Amilatun nashibah" (bekerja keras lagi kepayahan) - Q.S. Al Ghasiyah. Manusia sesungguhnya nothing but kepayahan dalam hidupnya.
Hajar's Footsteps That Burn the Heart
Ketika sa'i membayangkan Hajar a.s. yang berlari bolak-balik naik turun bukit Safa dan Marwa dalam terik matahari yang mematikan, tanpa makanan, mencari minum untuk bayi Ismail. Lintasan sa'i ini sudah bukan lagi pasir yang membakar telapak kaki, ini ubin dingin yang nyaman. Tidak ada lagi matahari yang membakar, berganti AC sejuk yang nyaman. Keran air zam-zam berjejer sepanjang lintasan, yang dulunya Allah pancarkan dari tendangan kaki bayi Ismail di pasir yang membakar. Kalau ini saja sudah membuat lelah dan kaki menyerah, bagaimana dengan Hajar? Now you know what it means by the word "sa'i"!
Stripped of Everything
Di malam-malam panjang di Mina, berbaring di tenda sederhana, can't help but thinking, "Is this how it feels to be stripped of everything?" Hanya berbekal tubuh, jiwa, dan amal yang telah kita kumpulkan. Tak ada lagi status, tak ada lagi harta, hanya ada harapan akan rahmat-Nya.
Subhanallah. The beauty of hajj isn't in its comfort—it's in its hardship. Setiap tetes keringat, setiap langkah yang menyakitkan, setiap malam kelelahan tanpa tidur nyenyak, adalah pengingat akan perjalanan yang lebih besar yang akan kita tempuh setelah kehidupan ini.
Strength Behind WeaknessDi tengah semua kesulitan itu, I found that extreme love and care from Allah tak pernah berhenti. Many people became our brothers and sisters, they offered us help, food, brotherhood. Despite all of my weaknesses, I found strength I never knew existed.
I brought back home a heart that had glimpsed eternity, a soul that had tasted what awaits us all. This is a rehearsal for the ultimate journey we all must take. This journey is a glimpse of what awaits. For us to return with not just stories and souvenirs, but lesson and wisdom etched into our souls.
Maybe this is the big why for the tears that always roll down with the remembrance of hajj journey. Deep down, our souls recognize home when they see it, even if it's just a glimpse.
Honor in Humiliation
Allah sedang memuliakan manusia dengan cara yang hina di mata manusia: lusuh, bau, kotor, lelah hingga ke tulang. Tidak bisa lagi kita dapatkan ridho manusia di sini, tak ada yang dapat kita banggakan atau gunakan untuk mempesona manusia. No good looks to impress others, no fancy clothes to gain admiration, no status to elevate my standing. Di sini, semua pengakuan duniawi terlepas seperti daun kering di musim gugur. Betapa selama ini saya berlari mencari ridha manusia, mencari pujian, menghindari celaan, tanpa menyadari bahwa semua itu akan lenyap dalam sekejap. Allah memaksa manusia mengerti dengan cara paling ekstrim, bahwa hanya ridha Allah lah what matters and never fades away.
Physical Struggle That Purifies
Kaki melepuh setelah jalan kaki yang sangat panjang. Tubuh meneriakkan protes pada setiap langkah. But there is something profoundly beautiful about physically struggling for Allah's sake. When I realized that Allah knows exatcly every pain, every blister on my feet, every sweat, every tears. And Allah will surely appreciate those tremendously, accurately. Tidak ada yang sia-sia. It's all worth it. It's all worth it.
Every drop of sweat washed away our sins. Lelah fisik ini adalah bentuk kasih sayang Allah, memberi kita jalan untuk memurnikan diri.
Extreme Affirmation: We Are Only Servants
Di sini, terasa nyata status kita sebagai hamba. A profound, extreme affirmation of our servitude to Allah. Tak ada pilihan selain tunduk pada aturan-Nya, pada waktu-Nya, pada cara-Nya. "Pergi ke sana, duduk di situ, lakukan ini, lakukan itu. And I will meet you every step of your way."
Inilah penegasan ekstrim: kita ini hanyalah hamba Allah.
Noble Character vs Blameworthy Conduct
The most humbling realization was yet to come. Di Tanah Suci, saya menemukan muslim dengan akhlak paling mulia yang pernah saya lihat – menolong tanpa pamrih, berbagi tanpa mengharapkan balasan, tersenyum meski dalam lelah. Namun di tempat yang sama, saya menyaksikan juga perilaku yang membuat saya kelu – saling mendorong, berebut tempat, menyerobot, nudging dengan kasar: in the midst of worship! Dalam keadaan sedang beribadah! Padahal haji adalah ritual yang wajib disempurnakan. Orang-orang yang sama, yang berbondong-bondong datang untuk menggapai ridha Allah, terkadang lupa bahwa akhlak adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Lessons of Love Beyond Imperfections
I thought hard, looking for the answer to my "why". I prayed during my thawaf that Allah will fix this thing. But Allah gave me a glistening pearl of guidance. Saya mendapati salah satu pelajaran terindah dari haji: it is how you keep loving your ikhwah despite all things they do. Because they, too, do it out of the passion to perfect their hajj. Bahwa mencintai sesama dalam keadaan mereka paling baik adalah mudah, tapi mencintai mereka saat mereka menunjukkan kelemahan adalah ujian sekaligus anugerah. Then I could look at their faces and found there was such earnestness in their rush, such passion to complete his rituals perfectly. Di mata mereka, saya melihat diri saya sendiri – sama-sama berjuang, sama-sama tidak sempurna. Di Indonesia kita memiliki jutaan guru yang mengajarkan kita adab dan akhlak seperti yang dicontohkan nabi s.a.w. Di negara mereka belum tentu. Mereka bisa berangkat saja mungkin adalah sebuah kelangkaan.
Allah mengajarkan saya tentang cinta yang lebih dalam, lebih luas, yang tidak bergantung pada kesempurnaan orang lain. A love that sees beyond flaws, that understands the struggle we all share.
Bringing Home a Heart that Understands
I brought back home a heart that understands that true nobility is found in the moments we are most humbled.
Allah memuliakan kita justru ketika kita merasa paling hina di mata manusia. Dan dalam kehinaan itu, kita menemukan kemuliaan sejati yang tak pernah bisa diberikan oleh siapapun selain-Nya.
IT’S ALL WORTH IT
Next chapter: Pearls of Hikmah
<<<< Previous chapter: Berangkat!
![]() |
My now so bujel traveler's journal |
Comments
Post a Comment