Mencintaimu

...
Siang usai Dzuhur, 27 January 2008, karedok di mulut masih asik dicerna secara mekanis oleh gigi geligi dibantu enzym yang terkandung dalam mucosa saliva, saya terpaku memandang berita televisi. Pak Harto mangkat.

Air mata menetes. Sedih. Kosong. Sesuatu seperti hilang. Lalu heran sendiri. Kok gini sih? Lalu berusaha mengurai sebab.

Melihat Pak Harto, seperti melihat kembali Ayah saya. Ayah sangat mencintai dan menghormati Pak Harto. Ayah sangat percaya pada sistem pegawai negeri sipil. Seluruh hidupnya diabdikan sebagai pegawai Departemen Sosial. Sejak lulus sekolah menengah, lalu Sarjana Muda sambil kerja, sampai tiba masa pensiun. Mulai jadi pegawai rendahan, hingga pensiun dengan golongan 4D. Apapun artinya itu.

Negara, di bawah administrasi Pak Harto, untuk Ayah, telah menghidupi keluarga besar kami secara lumayan sekali.

Saya ingat ketika Pak Harto lengser, Ayah setengah mati berusaha mengerti mengapa hal itu dianggap baik. Mengapa kerusuhan dan demo digemari dan dianggap perbaikan. Dan Ayah adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang sangat cerdas. Menurut Ayah, Pak Harto melakukan apa yang dia tau. He did what he had to do. Ketika orang lain lagi yang jadi pemimpin, tentu ia akan melakukan yang dia tau juga. Dalam sungkup nurani dan nalar manusia yang super sempit.

Ayah sedih dan tidak sependapat dengan mainstream. Namun tak hendak memperlihatkannya. Mungkin karena melihat antusiasme kaum muda, lalu berusaha ikut percaya. Namun mahluk terendah pun bisa melihat, ia sulit percaya.

Ketika DepSos dibubarkan Gus Dur, lagi-lagi Ayah kecewa sekali. Lalu mulai memikirkan, mempertanyakan. Siapa nanti yang urus itu? Urus ini? Bagaimana? Wajahnya gundah. Tak habis pikir, tapi harus menerima perubahan. Perubahan. Kemanapun arahnya.

Melihat Pak Harto, seperti melihat Ayah kembali. Walaupun tidak mirip wajahnya. Ingat Ayah yang sangat mencintai Pak Harto. Percaya padanya. Lalu jadi cengenglah saya. Mengalir anak sungai di pipi, sesunggukan bagai bocah kehilangan mainan.

Mungkin saya hanya rindu Ayah saya. Tapi karena cara pandang Ayah yang demikian, maka saya dan kakak-kakak memang tidak pernah membenci Pak Harto. Saya sedih beliau wafat. *Walaupun dalam sebentar saja sudah terbosan-bosan dengan liputan televisi yang tidak putus-putus menayangkan berita pemakaman. Duh, bosen.*
May Allah have mercy on him and return his deeds.

I'm gonna miss you, Pak.

By the way busway..
Dari sekian banyak liputan langsung stasiun televisi, TransTV was the best. Pak Ishadi, nyembah deh sayah..
Picture from Indonesia Satu
...

Comments

  1. Yup, you've done right, never hate someone, even Pakde Har.

    Just always do good deeds.

    ReplyDelete
  2. kalo na nonton nya TVRI, selain siaran langsung , emang perlu TV Nasional. walaupun lama-lama stress juga denger lagu Gugur bunga...gitu deh ahir nya ngilangin nya bli tas. kagak nyambung ya.
    na pasang bendera 1/2 tiang selama 7 hari...:)
    walau gimana pun kita musti belajar mencintai sejarah bangsa sendiri.
    PEACE !!!!

    ReplyDelete
  3. Sedih banget... terutama liat review kehidupannya.. i was crying..its breaking my heart.. Langsung pengen pulang ke kampung nengok "Papi"

    Nulis yang sering dong ri..if u can buzz me at nd_faith (YM)

    ReplyDelete
  4. It’s good to see someone so able to articulate this about Soeharto. I feel the same way. It’s too bad there are so many people out there that kept on condemning him on what he did. Sure he committed some crime, sure he did some bad things. But he also did good, and he is after all, just human. And whether we admit it or not, he did bring stability to the south east asia region and build our country, as opposed to Soekarno who, at the time, refused to open up our economy, wanted to “ganyang” Malaysia and Singapore and a lot of stupid stuff that would just bring Indonesia several steps backwards instead of bringing Indonesia ahead like it once was.

    ReplyDelete
  5. tapi harus diingat juga, berjuta-juta orang jadi korban akibat kekuasaannya, sampai banyak yang gila! kasian mereka..., ingatlah itu!

    ReplyDelete
  6. @ silent reverie:
    Mengingat keburukan orang lain, seringkali tidak ada hubungannya dengan mencintai atau tidak mencintai, membenci atau tidak membenci. Just hate, love, whatever. It's a matter of choice, really.

    ReplyDelete
  7. saya tidak benci Soeharto, yg saya benci perbuatan buruknya ;-)

    ReplyDelete

Post a Comment