Menggambar Bersama Pak Tino Sidin


Sore ini sore yang malas sekali (tiap hari bukankah?). Sempat hujan deras walau sebentar. Lumayan memberi jeda pada teriknya hari sejak pagi tadi.

Teh hijau kepul-kepul, Kompas Minggu di tangan. Perfect.

Lembar khusus "Kehidupan", liputan utamanya: Ada Apa dengan Film Kita... Pas sekali! Saya sudah muak dengan adu pendapat gonjang-ganjing perfilman nasional yang norak dan tolol itu. Mudah-mudahan saya bisa mendapatkan sesuatu di koran Minggu ini yang bisa menghilangkan semua kegemesan saya terhadap issue ini. Ingatlah, tulisan yang mencarimu. Bukan kamu yang mencari tulisan. Begitu kata seorang teman, entah nyontek quote-nya siapa, tapi saya sadari sering benar adanya.

Baca dari halaman belakang.

Lembar utama. Baca-baca-baca.. Hiyaaaaa, akhirnya pada nyadar juga kalau jambulnya Beckham masih lebih bagus daripada main bolanya. Monggo bergabung ke Holywood Soccer Club, mas Becky...

Lembar "Klasika". Aha! Ini dia rupanya kolom kecil yang bakalan diisi sama NCC. Hmm.. cute..

Lembar "Kehidupan" (kok kayak judul sinetron yak?) Teater Koma lagi manggung di TIM. Oh, senangnya! Betapa rindunya saya nonton Teater Koma lagi! Lakon-lakon terakhir mereka banyak mengulang lakon lama, kalaupun ada lakon baru, gregetnya sedikit pudar dibanding dulu. Dari reviewnya, yang ini sepertinya oke nih. The hell with the review! Bagus jelek, I'm there already. Miss it oh so much. Kunjungan Cinta. Graha Bakti Budaya, sampai 28 Januari. Sip.

Akhirnya sampai ke liputan utama. Hmm.. baca-baca-baca.. sejarah panjang 'peniruan' film di Indonesia sejak jaman kakek nenek tahun '50an, sampe jaman cicit tahun 2000-an sekarang. Komentar Arswendo, Seno Gumira Ajidarma, Marcelli *dunno this guy*. Daftar 10 sinetron jiplakan lengkap dengan versi asli yang dijiplaknya.

Semua tulisannya menarik dan bagus. Tapi agak kecewa juga --sedikit-- karena tidak ada 'sesuatu' yang nendang dalam artikel demi artikel liputan ini.

Saya sudah siap menutup koran, setelah menyelesaikan membaca cerpen Musibah karya Jujur Prananto, sewaktu menyadari ada satu tulisan lagi belum saya baca. Rubrik Wacana. Judulnya, Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia. Totot Indrarto.

Judulnya sih basi, tapi feeling saya mengatakan this is gonna be great.
And it's true!
Bukan karena bung Totot berpihak pada satu kubu, ataupun bahasanya yang lugas cenderung sinis, ataupun alur logika yang tepat. Bahkan juga bukan karena kejujurannya bertutur tanpa ada tendensi memoles sesuatu yang kurang halus. Tapi karena tulisan ini telah 'mencari' dan akhirnya 'menemukan' saya untuk membacanya. Sehingga saya bisa menutup chapter menyebalkan ini dengan satu senyuman lebar dan hati gembira. Hah!

Saya kutip paragraf terakhir yang memuat inti dari tulisan tersebut:

Duh. Saya kok jadi semakin yakin, warisan terburuk Orde Baru sebetulnya bukanlah kesanggupan mereka mengerdilkan kehidupan politik di negeri ini, tetapi justru keberhasilannya menciptakan generasi baru bangsa yang apolitis: naif dan mau serba instan. Kepingin apa-apa tinggal menadahkan tangan pada pemerintah. Dan satu-satunya cara berpolitik yang dikenal cuma berdemo alias unjuk rasa sembari mengancam...

Terimakasih, bung Totot. Kalau ada umur, saya mau minta tanda tangan anda.



Tentang judul posting ini:
Tadinya mau dikasih judul "Mari Membaca Koran". Tapi malah teringat Pak Tino Sidin, yang dulu dengan setia menuntun saya, dan jutaan anak Indonesia lainnya, tiap Minggu sore, untuk mengalami proses menggambar. Mulai dari titik, lengkung, garis, warna, hingga jadi sebuah lukisan indah. Ah, saya hanya rindu Pak Tino.

Mengalami sebuah proses bersama-sama.
Menggambar bersama Pak Tino Sidin.

...

Comments

Post a Comment